script src="http://sites.google.com/site/amatullah83/js-indahnyaberbagi/bintang.hijau.js" type="text/javascript"

Kamis, 30 Juni 2016

I'LL WAITING FOR YOU

Aku mengenakan sebuah gaun berwarna coklat selutut dengan sebuah syal melingkari leherku. Dengan cepat aku mengambil tas dan payung transparanku keluar kamar asramaku. Di luar hujan sangat deras. Aku membuka payung dan berlari keluar untuk mencari taksi. Hari ini aku akan menemui seseorang di sebuah bandara, seseorang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku mengenalnya melalui situs jejaring sosial. Dia pria yang menyenangkan, umurnya 26 tahun, 5 tahun di atasku. Sayangnya ia tidak pernah memasang foto dirinya di sana dan menurut khayalanku, ia adalah seorang pria yang tampan, tinggi, dan putih, mengingat bahwa ia mengaku dirinya adalah keturunan chinese, sama denganku.

Setelah kurang lebih satu tahun aku mengenalnya, aku merasa aku mulai menyukainya, bahkan bisa dibilang aku jatuh cinta padanya. Konyol, memang, tapi aku tau hatiku tidak pernah berbohong. Kami tinggal di kota yang sama, tapi aku tidak pernah sekalipun menerima ajakannya untuk bertemu. Aku takut kecewa, takut bila semuanya tidak sesuai dengan harapanku, takut dia juga tidak menyukaiku dan hubungan kami akan kandas begitu saja. Dia memaklumi alasanku untuk tidak menemuinya. Aku senang ia mau memahamiku.

Namun kemarin saat kami sedang mengobrol di chatting, kabar buruk itu datang secara mendadak. Pria itu bilang bahwa ia akan keluar negeri untuk waktu yang lumayan lama dan kemungkinan kami untuk sering ngobrol pun akan berkurang. Aku sedih sekali mendengarnya, aku ingin sekali bertemu dengannya untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Oleh karena itulah aku memutuskan untuk menyusulnya ke bandara hari ini. Aku juga sudah memberitahunya hal ini dan ia sangat antusias dengan keputusanku ini.

Sialnya hari ini aku bangun kesiangan. Pesawat akan berangkat pukul 11 dan aku baru bangun pukul 10. Dengan cepat aku mandi, mungkin mandi tercepat yang pernah kulakukan dan langsung berangkat ke bandara. Dan di sinilah aku berada, di dalam taksi yang tengah melewati jalanan yang ramai menuju bandara. Hatiku sangat gelisah. Aku terus saja memandangi jam tangan, sebentar lagi pukul 11 dan aku masih setengah perjalanan.

Singkat cerita, aku sampai di bandara pukul 11.15, pupus sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Tapi aku masih berharap bisa bertemu dengannya, aku berharap pesawatnya akan mengalami delay. Aku langsung berlari menuju sebuah cafe di mana aku dan dia berjanji untuk bertemu kemarin. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling cafe, berusaha mencari sosok pria yang kucari, walaupun aku belum pernah bertemu dengannya, tapi aku berharap instingku bisa diandalkan kali ini. Begitu banyak pengunjung di cafe itu dan aku tidak tau pria itu di mana.
"Ada yang bisa saya bantu?" seorang wanita pelayan cafe menghampiriku.
"Ah, aku sedang mencari seseorang."
"Apakah anda yang bernama Xiao Ling?"
"Ah iya! Dari mana anda tau?"
"Tadi ada seorang pria yang menitipkan pesan bahwa ia sudah harus pergi ke ruang tunggu pesawat dan ia menitipkan surat ini."


Aku kecewa dan kakiku langsung lemas. Sudah terlambat, aku tidak bisa lagi menemuinya.
"Tapi tadi saya dengar pesawat yang ditumpangi pria itu mengalami delay setengah jam. Anda pasti mengharapkan seperti itu bukan? Pria itu juga berharap begitu, tadi ia mengatakannya padaku."
"Benarkah?"
"Pergilah."
"Apa?"
"Kejar dia. Mungkin dia masih ada di ruang tunggu pesawat."
Aku mematung sejenak kemudian tersenyum gembira.
"Baiklah, terima kasih!"

Aku pun berlari sambil menangis. Aku sungguh berharap aku masih sempat. Sambil menggenggam surat darinya, aku tidak berhenti berlari. Sesampainya di ruang tunggu aku mengedarkan padanganku. Aku terus berdoa dalam hati, kembali mengandalkan instingku untuk mengenalinya. Aku menutup mata, meminta bantuan Tuhan untuk menemukannya. Tapi saat kubuka mataku dan kembali memandangi seluruh ruangan, aku belum juga menemukannya. Ya, Tuhan, yang mana dirinya? Mengapa susah sekali mengenalinya? Kenapa dia tidak pernah memasang fotonya di situs sosial itu? Dasar bodoh!

Tiba-tiba saja mataku tertuju pada satu titik. Ada seorang pria tidak jauh dariku yang sedang memainkan ponselnya dengan serius. Sesekali ia mendekatkan ponsel itu di telinganya. Pria itu tampak gelisah. Wajahnya putih dan tampan, sesuai dengan khayalanku tentang pria yang kukenal itu. Lalu aku tersadar. Ponsel! Mengapa aku begitu bodoh? Sekarang aku hidup di jaman apa?! Aku kan bisa menghubungi ponselnya. Bodoh sekali aku.

Aku mengeluarkan ponsel dari tasku. Ada 20 misscall di sana. Sejak kemarin aku memang men-silent ponselku, kebiasaanku saat hendak tidur supaya aku tidak terganggu dengan bunyi SMS di pagi-pagi buta dan aku lupa mengaktifkan nada deringnya lagi karena bangun kesiangan. Betapa terkejutnya saat kubuka siapa yang misscall itu. Semuanya dari pria itu. Aku hendak meneleponnya balik saat tiba-tiba ponselku berdering lagi dan jantungku berhenti berdetak begitu melihat namanya. Pria itu! Berarti ia belum naik ke pesawat. Harapanku kembali timbul. Aku berdebar-debar saat mengangkatnya.
"Ha.. Halo.." kataku grogi.
"Hei, akhirnya kau angkat juga. Kau di mana? Tidak jadi datang? Kau tidak apa-apa kan? Aku menunggumu dari tadi. Aku khawatir sekali. Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?" nadanya terdengar kecewa dan cemas. Aku senang ia mengkhawatirkanku.
"A.. Aku bangun kesiangan. Maaf.."
"Syukurlah, aku kira kau kenapa-kenapa. Jadi kau sekarang masih di asrama?"

Aku terdiam. Haruskah aku mengakuinya? Sejujurnya aku masih takut untuk menemuinya, tapi kapan lagi? Ini kesempatan terakhirku.
"Aku.. Aku sudah di bandara."
"Apa?! Kau dimana?" suara pria itu terdengar sedikit keras sehingga aku menjauhkan sedikit ponselku. Seketika itu juga aku melihat pria tampan tadi berdiri dari kursinya dan melihat-lihat ke sekelilingnya. Jantungku semakin berdetak cepat. Apakah pria itu yang aku cari?
"Da Dong ge (kakak laki-laki dalam bahasa mandarin), kau di mana sekarang? Kau pakai baju apa?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Aku sudah di ruang tunggu bandara. Aku memakai kemeja berwana biru dan celana putih. Hey, kenapa kau menanyakan hal itu? Kau di mana sekarang?"
"Aku.. Aku sedang melihatmu, ge.. Aku juga ada di ruang tunggu sekarang."
Ya benar! Pria tampan itulah yang sedang kucari, dan begitu mendengar jawabanku pria itu terdiam sejenak. Matanya mengelilingi ruang tunggu dan kemudian berhenti saat pandangannya terarah kepadaku. Jantungku berdebar cepat. Da Dong mengenaliku? Benarkah?

"Kau mengenakan gaun coklat dengan syal hitam di lehermu?"
Aku melihat pria itu menggerakkan bibirnya sambil terus menatap ke arahku. Ponselnya masih di telinganya. Aku mengangguk pelan.
"Iya.."
Pria itu kemudian menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana. Ia berjalan menghampiriku. Jantungku semakin cepat berdetak, rasanya ingin pingsan saja. Pria tampan itu benar-benar Wang Dong Cheng, yang biasa aku panggil Da Dong. Dialah pria yang selama setahun ini membuat hari-hariku semakin berwarna. Dialah pria yang kucintai, meski aku tidak pernah bertemu dengannya.

Semakin dekat ia berjalan, langkahnya semakin cepat. Perlahan aku menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku gaunku, tepat saat Da Dong sudah berdiri di hadapanku.
"Kau.. Xiao Ling?"
Aku mengangguk. Air mataku sudah tak terbendung. Aku bahagia, akhirnya aku bisa bertemu dengannya.
"Hey, kenapa kau menangis?" Da Dong menghapus air mataku dengan jarinya yang hangat. Hatiku senang dan hangat karena sentuhannya.
"Kau.. tidak kecewa bertemu denganku?" aku bertanya dengan hati-hati.
"Kenapa aku harus kecewa? Kau.. cantik.. Rambutmu.. Kupikir rambutmu panjang seperti di foto profilmu. Makanya aku tidak mengenalimu tadi."
"Y.. Ya.. Aku memotong rambutku 3 bulan yang lalu. Itu foto lamaku. Ke.. kenapa? Terlihat aneh?"
"Tidak. tentu saja tidak. Kau.. cantik.. sungguh.."

Aku tersenyum.
"Kau sendiri? Tidak kecewa bertemu denganku? Kau selalu bilang bahwa kau takut kalau kita bertemu. Kau takut kecewa saat tau wajahku tidak seperti bayanganmu kan?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Hey, kita sudah satu tahun berteman. Walaupun aku tidak pernah bertemu denganmu, bukan berarti aku tidak mengenalmu. Aku tau semua isi hatimu."
Wajahku memerah. Semua isi hatiku? Apakah dia juga tau bahwa aku menyukainya?
"Jadi? Kau kecewa?" tanyanya lagi.
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku senang, sungguh."
"Karena wajahku tampan? Karena itukah kau senang? Tapi jika wajahku jelek, kau akan kecewa?"

Bukan! Bukan itu maksudku.. Bagaimana mungkin ia berpikir seperti itu?!
"Hahaha.." tiba-tiba ia tertawa. "Aku hanya bercanda. Aku tau kau tidak akan kecewa bagaimanapun penampilanku. Kau sudah datang ke sini saja, itu sudah menandakan bahwa kau serius berteman denganku, tidak peduli bagaimana wajahku nantinya kan?"
Aku mengangguk cepat. Aku memang menyukainya, tidak peduli bagaimana penampilannya. Mungkin aku memang akan sedikit kecewa apabila tidak sesuai dengan khayalanku selama ini, tapi aku sudah terlanjur menyukainya, mencintainya!

"Kau suka padaku?" pertanyaan yang terlontar dari mulutnya membuatku terbelalak.
"A.. apa?"
"Hahaha.. Kau ini lucu sekali!"
Ugh, ternyata ia hanya mempermainkanku! Aku merengut.
"Ehm.. Maaf.. Tapi.. Pertanyaanku serius. Kau menyukaiku?"

Aku jadi salah tingkah. Wajahku memanas. Haruskah aku mengatakan ya? Tapi jika ia tidak punya perasaan yang sama, bagaimana?
"Sayang sekali bila kau tidak menyukaiku. Berarti aku baru saja patah hati."
"Apa?" Maksudnya? Dia..?
"Aku menyukaimu. Ehm.. Aku mencintaimu." Da Dong memandang mataku dengan tatapan yang sangat dalam. Wajahku kembali memanas, pasti sekarang wajahku sudah memerah sekarang.
"Kau menyukaiku?" aku bertanya ragu.
"Ya.." Da Dong menggaruk kepalanya dengan salah tingkah. "Mungkin ini terdengar bodoh, padahal aku tidak pernah bertemu denganmu, tapi setiap kali aku ngobrol denganmu di telepon, atau bahkan melihat namamu sedang online, hatiku berdebar, aku senang sekali, ingin selalu berbagi cerita denganmu dan mendengar semua kegiatanmu. Semua ceritamu itu membuatku merasa, kau adalah wanita yang ceria. Walau mood-mu gampang berubah, tapi aku menyukainya. Aku.. menyukaimu."
"Kau.. Kau tidak bodoh.." aku akhirnya berani bersuara. "Karena aku.. merasakan apa yang kau rasakan." kataku perlahan.
"Benarkah?" Da Dong tersenyum lebar, matanya berbinar-binar, membuatku ingin sekali memeluknya.
Aku mengangguk pasti.

Da Dong memelukku dengan cepat. Membuatku sedikit terkejut karena baru saja aku berpikir ingin memeluknya. Kami berpelukan lama sekali, tidak peduli semua mata tertuju pada kami.
"Pesawat _______ akan segera berangkat. Diharapkan semua penumpang memasuki pesawat." informasi itu membuat hatiku mencelos. Inikah saatnya aku akan berpisah dengan Da Dong? Secepat ini?
"Xiao Ling." Da Dong berbisik di telingaku, kami masih saja berpelukan.
"Ya?" aku berusaha tegar, air mataku sudah mengumpul di pelupuk mata tapi aku menahannya.
"Maukah kau menungguku? Tiga tahun. Apakah terlalu lama?"
"Tentu saja tidak. Aku akan menunggu." Jangan pergi! Aku ingin sekali meneriakkannya.
"Aku akan berusaha menghubungimu kapanpun aku sempat."
"Take your time, ge. Jangan mengkhawatirkanku. Jaga dirimu ya."
"Kau juga. Aku akan segera kembali. Aku janji."

Da Dong melepas pelukannya dan mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah kotak beludru berwarna merah. Ia membukanya dan tampaklah sebuah cincin yang sangat indah.
"Maukah kau memakainya? Mungkin ini bukan cincin mahal yang pantas kuberikan padamu. Tapi aku janji, tiga tahun lagi aku akan kembali dan menukarnya dengan cincin yang lebih indah dari ini, dengan namaku terukir di dalamnya.."
Aku mengangguk. Air mataku pun mengalir.
"Jangan menangis. Oke?" Da Dong menghapus lagi air mataku dan memakaikan cincin itu di jari manis kananku. Kemudian mencium keningku.
"Sampai jumpa." katanya lalu mengambil kopernya. Menatapku sejenak, tersenyum dan melambaikan tangan sambil melangkah menuju pesawat. Aku pun membalas lambaian tangannya dengan senyuman.

Aku akan menunggumu, Da Dong ge. Aku janji. Sampai jumpa! Wo ai ni ♥


Rabu, 29 Juni 2016

Kisah Penyesalan Istri Tidak Mau Layani Malam Terakhir Suami

Seorang istri memang seharusnya patuh pada seorang suami, apalagi jika suami tersebut termasuk suami yang baik dan patuh pada perintah Allah SWT. Berikut ini saya bagikan kisah nyata penyesalan seorang istri yang tidak mau layani malam terakhir suami.


Kisah ini terjadi di Malaysia beberapa tahun yang lalu. Namun penyesalan berkepanjangan terus mengikuti sang istri.

Berikut ini kisah lengkapnya penyesalan istri yang tidak mau melayani malam terakhir suaminya :

Sebenarnya kami adalah pasangan yang romantis. Bahkan, teman-teman sering memperbincangkan keharmonisan kami. Meskipun bekerja, aku tetap melayani suami dan mengurus anak-anak dengan baik. Aku bersyukur suami memahamiku dengan baik. Ini membuat aku semakin sayang kepadanya.

Sementara suamiku, di tengah kesibukannya, ia juga selalu membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Ia juga sering mengimamiku shalat. Aku bahagia dengan hubungan kami.

Hari itu, Senin. Aku ingat betul. Aku pergi ke kantor pagi-pagi karena banyak urusan yang harus aku selesaikan. Termasuk janji bertemu dengan sejumlah klien. Biasanya jam 6 petang aku sudah berada di rumah, hampir bersamaan dengan azan Maghrib berkumandang. Aku lihat suamiku telah bersiap-siap untuk shalat Maghrib. Pun anak-anak telah tampil rapi, mereka sudah mandi dan tampak riang bersama ayahnya. Aku lihat suamiku sangat bahagia bersama anak-anak petang itu.

Ba’da Maghrib, kami keluar ke sebuah restoran. Jaraknya sekira 5 kilometer dari rumah. Sepanjang perjalanan kami bergurau, ngobrol ke sana kemari, disertai tawa yang kadang-kadang lepas.

Aku merasakan kegembiraan suamiku petang itu lain dari biasanya. Cara bercandanya, cara tersenyum dan tertawanya… Dalam hati aku hanya bisa bersyukur dan berbahagia.
“Sudah jam 12.30 tengah malam, Bang. Ayo pulang,” kataku setelah melihat jam tangan. Tak terasa sudah larut. Tanpa banyak bicara, suamiku pergi ke kasir.

Kami tiba di rumah dua puluh menit kemudian. Anak-anak kami yang jumlahnya tiga orang segera masuk rumah dan tidur. Usia si bungsu baru tujuh tahun, sedangkan si sulung berusia 12 tahun.

Aku juga mulai mengantuk. Maklum, di jam segini dan setelah perut terisi dengan makanan lezat restoran tadi, bawaannya ingin langsung tidur saja. Di saat seperti itu suami membelai rambutku, ia menginginkan sesuatu. Tapi mataku terasa berat, aku ingin tidur.

Suami membisikiku, ini permintaan terakhirnya. Namun, aku berpikir, aku mengantuk dan dia juga mungkin kecapekan. Lebih baik besok saja. Perlahan-lahan suami melepaskan pelukannya.

Pagi harinya, ada perasaan tak menentu. Seperti ada hal besar yang akan terjadi. Aku menelpon suami, tetapi tidak dijawab. Hingga kemudian aku dikejutkan dengan telepon dari kepolisian. Mereka mengabarkan bahwa suamiku kecelakaan dan memintaku segera datang ke rumah sakit.

Hatiku seakan pecah saat itu. Aku ke rumah sakit, tetapi segalanya telah terlambat. Suamiku menghembuskan nafas terakhirnya sebelum aku tiba di sana. Air mata menjadi saksi betapa aku sangat kehilangan dirinya.

Yang lebih kusesali, meskipun aku telah ridha dengan takdir dariNya, aku tidak memenuhi permintaan di malam terakhirnya. Hatiku dihinggapi perasaan bersalah yang luar biasa. Aku takut jika suamiku pergi menghadapNya dalam kondisi tidak ridha kepadaku. Dan aku tidak sempat meminta maaf kepadanya karena kini ia telah terbaring kaku.

Aku jadi ingat dengan hadits Nabi, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang suami yang mengajak istrinya tidur bersama, lalu ditolak isterinya, maka malaikat yang di langit akan murka kepada istrinya itu hingga suami memaafkannya”.

Setiap kali teringat suami, mataku gerimis. Pipiku basah. Aku hanya bisa memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi seluruh wanita muslimah di segala penjuru dunia. Jika suamimu memintamu, sepanjang kau mampu, penuhilah. Sebab engkau tak pernah tahu kapan tiba-tiba Allah mengambil suamimu. Dan semoga engkau selalu mendapatkan rahmatNya, tersebab suami yang selalu ridha padamu kapan pun juga.

Selasa, 28 Juni 2016

Betapa Hancur Hatiku Saat Kecurigaanku Terhadap Suami Menjadi Kenyataan


Bercerai, dicampakkan, dan dikhianati, merupakan beberapa ketakutan yang dimiliki setiap manusia, khususnya wanita. Meski dalam beberapa kasus, masalah tersebut hadir dengan peringatan sebelumnya, namun Anda tetap tidak akan siap untuk menghadapinya bukan?
Sama halnya dengan Adinda, yang membagikan kisah pahitnya pada kami. Pernikahan yang masih seumur jagung harus berakhir begitu saja saat sang suami mengaku bahwa ia mencintai wanita lain.
Cinta pada pandangan pertama. Itulah yang dirasakan oleh Adinda saat pertama kali bertemu dengan Irfan dalam suatu kencan buta. “Saat itu aku bekerja di sebuah koperasi. Salah satu rekan kerjaku mengenal Irfan dan ia memperkenalkan kami berdua karena menurutnya kami akan sangat cocok. Aku dan Irfan pun bertemu untuk nonton film di bioskop dan makan malam. Sebagai mantan sales, Irfan sangat supel dan percaya diri. Sementara aku cenderung pemalu. Namun tanpa disangka, komunikasi kami berjalan dengan baik, begitu pula dengan hubungan kami,” cerita Adinda.

Pada perayaan tahun baru, Irfan pun melamar Adinda. “Dia memberiku beberapa kotak dengan berbagai ukuran. Dalam kotak yang paling kecil ada sebuah cincin emas cantik. Aku sangat gembira dan terharu. Saat itu yang kurasakan adalah rasa tidak sabar untuk segera menikah dengannya,” kenangnya.


Lamaran itu terjadi 6 tahun sebelum akhirnya pasangan ini membicarakan tentang pernikahan. “Meskipun aku sedikit gugup, namun aku sudah lama menantikan datangnya hari ini. Irfan dan aku akhirnya mengikat tali kasih setelah 7 tahun bertunangan, maka tentu saja ini sangat penting bagiku,” cerita Adinda. “Kami hanya mengundang 70 orang yang merupakan keluarga dan teman dekat. Aku mempersiapkan segala sesuatunya sendiri, termasuk membuat undangan, mendekorasi meja, dan mempersiapkan souvenir pernikahan. Aku memilih sendiri gaun. Sementara kue dan konsumsi pesta pernikahan dipersiapkan oleh rekan kerjaku,” tambahnya.

Pada kesempatan itu pula, Irfan yang bekerja di sebuah toko meminta izin Adinda untuk mengundang teman-temannya. Menurut Adinda, Irfan sering sekali membicarakan rekan kerjanya di toko, jadi Adinda akan senang sekali jika mereka hadir di hari spesialnya. Meskipun Adinda tidak masalah jika Irfan mengundang teman-temannya, namun ia merasakan firasat aneh saat Irfan mengatakan bahwa Yuni, salah satu rekan kerjanya juga akan hadir.

Irfan dan Adinda akhirnya melangsungkan pernikahan mereka. “Hari itu sangat mengagumkan, terutama saat kami mengucapkan janji pernikahan di hadapan semua tamu. Meski aku merasa sangat bahagia, namun aku juga tetap menyadari saat beberapa kali Irfan menghilang untuk bercengkerama dengan teman-temannya, termasuk Yuni. Beberapa kali aku juga melihat Yuni sedang melirik ke arahku. Aku mencoba untuk menyingkirkan semua pikiran negatif. Aku berusaha meyakini bahwa ia hanya ingin bersikap ramah pada teman-temannya. Selain itu, dia kan baru saja menikahiku,” katanya.

Namun tidak lama setelah tinta mengering di buku nikah keduanya, Irfan mulai menunjukkan perubahan sikap. Ia tampak mulai menjaga jarak dengan Adinda, bahkan kurang tertarik dalam berhubungan suami istri. “Awalnya aku kira itu karena ia terlalu lelah bekerja. Namun kemudian dia mulai sering menyebutkan nama Yuni dalam percakapan kami. Mereka sangat sering bertemu. Instingku berkata bahwa ada yang tidak beres. Aku tidak ingin membuat masalah dengan berpikiran yang tidak-tidak, namun aku merasa terancam oleh keberadaan Yuni.”

“Ia lebih muda, lebih langsing, dan lebih cantik dibanding aku. Aku sangat tidak nyaman jika membayangkan mereka sedang berduaan di rumah kami. Aku pernah menanyakan pada Irfan apakah ada sesuatu di antara mereka. Namun Irfan justru menertawakan kekhawatiranku. Yuni juga sudah punya kekasih, jadi menurut Irfan lucu jika aku bertanya seperti itu. Meski Irfan terus menekankan bahwa tidak ada hubungan apa-apa antara ia dan Yuni, tentu saja aku tetap merasa cemburu. Mau tidak mau aku mencoba untuk memendam kekhawatiran ini dalam-dalam,” kata Adinda.
“Lalu kekhawatiranku menjadi kenyataan…”
Pada suatu hari, sepulang dari kerja, Irfan mengatakan pada Adinda bahwa ada yang perlu dibicarakan. Pada kesempatan itulah Irfan mengakui bahwa ia sudah tidak mencintai Adinda lagi. “Ia mengatakan, ‘aku tidak mencintaimu lagi’, dan itu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Ia juga mengatakan bahwa segala sesuatunya terasa tidak tepat kini. Usia kami terpaut cukup jauh, sehingga aku terasa lebih cocok menjadi adik dibanding istrinya. Pengakuannya menghantamku keras-keras, meski aku tahu itu adalah isi hatinya yang sebenarnya. Namun dari cara bicaranya, aku tahu bahwa ia belum mengungkapkan semua isi hatinya. Aku pun bertanya apakah ada wanita lain yang dicintainya? irfan mengangguk. Aku bertanya lagi, apakah wanita itu Yuni? Dan Irfan mengangguk

lagi. Hatiku semakin hancur,” kenang Adinda sedih.
Irfan bersumpah bahwa belum ada hubungan apapun dengan Yuni. Namun ia sudah mengakui perasaannya pada Yuni, dan Yuni mengaku bahwa ia memiliki perasaan yang sama. Irfan juga mengatakan bahwa ia ingin melihat ke mana hubungannya dengan Yuni berjalan. “Hatiku hancur. Kami baru saja menikah beberapa bulan, namun ia sudah meninggalkan aku demi wanita lain. Ada begitu banyak hal yang aku pikirkan. Aku juga tidak yakin aku bisa mempercayai apa yang ia katakan. Maksudku, bagaimana bisa kamu meninggalkan wanita yang sudah bersamamu selama 8 tahun terakhir demi wanita lain? Lebih buruknya lagi, ada beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka sering melihat Irfan sedang bersama Yuni. Mereka berdua selalu bersama-sama.”

Lalu apa yang dilakukan oleh Adinda selanjutnya?
Meskipun patah hati, Adinda mencoba untuk tetap menjaga martabatnya dan menjaga hubungan baik dengan Irfan. Adinda bahkan menawarkan diri untuk keluar dari rumah itu, agar Irfan tidak perlu pindah. Adinda pun akhirnya keluar dari rumah itu dan tinggal bersama Shinta sahabatnya. Ia masih menjaga komunikasi dengan Irfan.

Beberapa bulan kemudian, Irfan bercerita bahwa Yuni telah memutuskan hubungan dengan kekasihnya, dan bahwa mereka telah bersama. Sekarang, setelah 2 tahun berlalu, Irfan masih bersama Yuni, sementara Adinda sedang menunggu proses perceraiannya selesai.
“Aku mengalami patah hati yang luar biasa saat itu. Bagaimana tidak, pernikahan yang aku kira baik-baik saja, ternyata tiba-tiba harus berakhir. Kini aku sedang berusaha untuk melupakan masalah itu. Namun saat aku melihat foto pernikahanku, dan melihat kami bertiga sedang tersenyum ke arah kamera, hatiku masih terasa sakit,” tutupnya.

Di sisi lain, Irfan membuat pengakuan yang cukup mengejutkan. Menurutnya, hubungan antara ia dan Adinda sudah berada di ambang kehancuran sebelum mereka menikah. Namun Irfan terlalu takut untuk membatalkan pernikahan. Ditambah Adinda sudah habis-habisan mempersiapkan pernikahan mereka dengan total, hingga ia tidak tega untuk membatalkannya.

“Aku sudah menyukai Yuni sebelum aku menikah. Namun tak lama setelah menikah, aku dan Yuni menyadari bahwa kami sangat saling menyukai satu sama lain. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa meskipun aku telah menikah dengan Adinda, aku tidak ingin hidup bersamanya, karena aku mencintai wanita lain,” aku Irfan.


Kejam? Mungkin. Kisah ini mengingatkan saya pada pikiran yang dulu pernah saya miliki. ‘Bagaimana jika kamu menemukan belahan jiwamu setelah kamu menikah?’. Biarlah kisah ini tetap sekedar menjadi kisah, tanpa harus menimbulkan trauma atau ketakutan bagi Adinda dan pembaca semua.


Minggu, 26 Juni 2016

Kisah Nyata Seorang Kakak dan Adik

Dibawah ini ada sebuah kisah nyata antara seorang kakak beradik yang sangat mengharukan untuk para pembaca sekalian.


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatan membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi adikku, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang,
hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku mencari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Baca juga ramalan zodiak dan shio mingguan :

Zodiak 

Shio


Sabtu, 25 Juni 2016

Seorang Ibu Setiap Hari Menelpon Putrinya Yang Telah Meninggal

Di Taiwan, ada seorang Ibu yang sudah berumur tujuh puluh tahun yang menunggu telepon putrinya setiap hari. Dia selalu mendengar pesan suara putrinya, "Maaf, aku sibuk sekarang, silakan tinggalkan pesan."Oh...! Itu suara pesan putriku Qingqiao. Hal itu membuat ibunya tidak bisa menahan senyumnya.

Walaupun mengetahui bahwa putrinya tidak bisa di telepon, tapi ia masih tetap senang untuk menjawab, "Nak, Anda sekarang sedang sibuk dan Ibu akan meneleponmu lagi besok !"Sebenarnya, sang pemilik suara itu telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil tiga tahun yang lalu. Sebuah pesan suara yang akrab dan ramah adalah satu-satunya cara Ibunya untuk menemukan putrinya.

Hal ini sepertinya sebuah kunci ajaib, Anda selalu dapat membuka pintu yang menuju ke taman rahasia.Seperti sekuntum bunga yang selalu mekar dan penuh dengan semua kelembutan tentang memori putrinya. Walaupun kini putrinya tidak menggunakan telepon lagi, tapi Ibunya masih tetap membayar biaya bulanan tepat waktu.Setiap mendengarkan pesan suara setiap kalimat, ia masih merasa bahwa putrinya masih ada.

Ibunya selalu tampak duduk di samping putrinya dan tersenyum padanya. Melihat jari lincah putrinya menekan keyboard, mendengar putrinya berbicara dengan rekan-rekannya di ruang konferensi dan melihat putrinya fotokopi dokumen ke mesin fotokopi ......Dalam lamunan manis, Ibunya setiap malam menahan rasa sakit inci demi inci seperti laut yang luas. Walaupun kadang-kadang hanya sebuah kata, tetapi hal ini dapat membuat Anda dapat mengangkut hati yang lembut.Tapi pada suatu hari, ketika seperti biasanya dia ingin mendengar pesan suara putrinya di telepon, pesan suara itu benar-benar telah menghilang !

Dia hanya bisa mendengar bunyi suara bip satu kali dan sesudah itu ditutup.Ibunya seketika itu menjadi panik, tampaknya seperti seolah-olah dia telah kehilangan seluruh dunia. Dengan susah payah, Ibunya berusaha untuk menemukan pelanggan layanan panggilan telepon putrinya.Telepon tersambung sesaat, tapi yang terdengar suara operator layanan sehingga membuat air matanya berkabut. Sambil mendengar pertanyaannya, ia menjelaskan dengan sabar.

Awalnya, perusahaan telekomunikasi sudah menginformasikan pada pelanggan melalui SMS, bahwa sistem suara akan ditingkatkan. Jadi silakan tinggalkan pesan dengan ucapan suara lama untuk transisi ke sistem baru untuk menyimpan, jika tidak maka akan hilang.Tapi sang Ibu tidak pernah melihat SMS. Jadi sistem baru online yang seminggu kemudian itu membuatnya telah kehilangan pesan suara putrinya yang berharga itu..Ibunya benar-benar kehilangan akal, "Ini adalah pesan putriku yang mati, lalu apa yang bisa saya lakukan lagi......" Ibunya yang sudah berumur hampir tujuh puluh tahun, menangis terseduh-seduh seperti anak yang tak berdaya.

Petugas layanan pelanggan segera menyampaikan kepada Direktur tentang masalah ini, sehingga Direktur cepat-cepat melaporkannya kepada departemen perusahaan TI. Staf layanan menghabiskan waktu selama satu bulan untuk mencari dari jutaan pengguna kotak pesan suara lama.Akhirnya mereka menemukan rekaman pesan suara putrinya. Mereka segera mulai belajar bagaimana membuat reproduksi suara dengan menggunakan perusahaan telepon ke ponsel putrinya.

Kemudian dari sistem perekaman call center, kata-kata ini ditulis dan mengimpor sistem suara baru.Siang dan malam Ibu Qingqiao menantikannya, akhirnya dia bisa mendengarkan kembali pesan suara putrinya, Qingqiao. Saat itu, dengan perasaan riang dia tertawa, "Dengarlah! Dengarlah !" Dia merasa seperti putrinya yang tersayang sedang bersandar di sisinya dan satu tangannya sedang mengelus kepalanya.Untuk tidak pernah kehilangan pesan ini, maka rekaman dari personil perusahaan menyalin pesan suara itu ke CD dan memberikan Pada Ibu Qingqiao sebagai hadiah untuknya.

Kita adalah orang-orang biasa, tidak dapat mencegah bencana alam, kecelakaan mobil, tsunami, tapi kita bisa memberikan cinta kasih dan perhatian pada seorang Ibu yang telah peduli pada anaknya untuk memulihkan patah hatinya, agar tetap semangat untuk menghadapi yang telah terjadi.

Menghormati orang tua pada kenyataannya tidak menghabiskan banyak waktu dan uang. Sebuah kata, ucapan, ciuman, pesan teks, karangan bunga, pelukan ......Kadang-kadang hal itu telah membuat orang tua menangis terharu. Orang tua di dunia sebenarnya sangat ingin untuk bertemu. Pohon itu mungkin lebih tenang, jika angin tidak bertiup. Seorang anak tentu tidak ingin orang tuanya menunggu.

BACA JUGA RAMALAN SHIO DAN ZODIAK MINGGUAN :

                                                                          ZODIAK

                                                                             SHIO


Jumat, 24 Juni 2016

Inikah Takdir, Tuhan

“Hei, kemarilah. Cepat lihat, siapa yang sedang berlatih basket di lapangan itu!”
Aku berjalan pelan menuju jendela di ruang kelasku. Sekedar mengintip seorang pria yang sudah dua tahun ini hadir di hatiku. Dia berlari kesana-kemari dengan lincah sambil menggiring bola basket di tangannya. Dan berkali-kali pula bola itu berhasil masuk ke dalam ring dengan indah.
“Tampan, ya, tampan sekali” kataku.
“Jadi, sudah seberapa jauh kau berjuang untuk mendapatkannya?” tanya Velia yang segera berdiri di sampingku. Menatapku tanpa rasa bersalah.
“Berjuang? Untuk mendapatkan Dimas? Mmm.. Entahlah, aku tidak tahu”
“Key, hampir semua wanita di sekolah ini juga menyukainya. Apa kau mau, pangeran hatimu itu diambil oleh orang lain?”
“Oleh karena itu, aku tidak ingin berjuang apa-apa. Aku tidak akan bisa mengalahkan mereka. Kalau pun akhirnya Dimas menyukai salah satu dari mereka, ya, sudahlah. Aku tak apa”
“Karena penyakitmu? Sudahlah, kau pasti sembuh. Jangan khawatirkan apa pun, Key”
Aku menghela napas pelan. Melihat Dimas sekali lagi, dan berjalan ke tempat duduk. Aku tidak akan berjuang apa-apa pada siapa pun. Aku hanya ingin fokus pada sekolah dan penyakitku. Hanya ingin berjuang untuk kesembuhanku, walaupun aku sendiri tidak tahu apa perjuanganku ini bisa menghasilkan kesembuhan atau justru kematian. Yang terpenting, aku sudah berusaha semampuku melawan semua ini.
“Apa aku perlu turun tangan, Key?”
“Untuk apa?”
“Untuk membantumu dengan Dimas? Key, Dimas tidak akan tahu apa pun tentang perasaanmu kalau kau tidak menunjukkan suatu tindakan atau..”
“Vel, sudahlah. Aku tidak ingin mengurus sesuatu yang tidak berkaitan dengan sekolah atau penyakitku. Aku hanya menganggapnya sebagai penyemangat, tidak lebih dan tidak ingin berharap lebih” kataku sambil berjalan pergi.
“Key” panggil seseorang dari belakangku. Aku menoleh dan menemukan dia sedang berdiri menatapku. Ya, menatapku.
“Oh, hai. Mencariku?”
“Kau ingin ke kantin?” tanyanya ramah.
“Sepertinya begitu. Ada apa?”
“Boleh aku menemanimu?”
“Ya, silahkan saja” kataku cuek dan kembali berjalan. Dia tersenyum dan ikut berjalan di sampingku. “Mmm.. Kapan pertandingan basket berlangsung?”
“Satu minggu lagi. Kau mau datang untuk melihatku, kan?”
“Akan aku usahakan. Asal di akhir pertandingan, kalian yang membawa piala itu”
“Aku akan menghadiahkan kemenangan itu khusus untukmu, Key”
Aku tersenyum dan duduk di bangku kantin paling ujung bersama Reno. Salah satu teman pria yang akhir-akhir ini dekat denganku. Ya, hubungan kami berjalan dekat begitu saja. Tapi, aku sama sekali tidak keberatan. Alasannya karena Reno adalah sahabat Dimas. Dengan kata lain, aku juga bisa dekat dengan Dimas jika aku dekat dengan Reno. Bukan memanfaatkan kedekatan kami, tapi beginilah satu-satunya cara agar aku bisa sedikit mengenal sosok Dimas. Ya, mungkin Reno tidak keberatan.
“Hai!” sapanya. Ya, dia. Dia yang sejak tadi ku tunggu, akhirnya menampakkan dirinya di antara aku dan Reno.
“Kau sudah mengenal wanita cantik ini?” tanya Reno sambil berbisik. Tapi aku bisa mendengarnya dengan samar.
Dimas hanya melirikku sekilas dan kembali menatap Reno sambil berbisik. “Hai, namaku Dimas” katanya sambil mengulurkan tangannya. Aku terpaku beberapa saat sebelum menerima uluran tangan itu.
“Keyla” jawabku sambil tersenyum. Gugup, tapi bahagia. Gemetar, tapi mencoba untuk tenang. “Kau yang menjabat sebagai kapten basket di SMA ini?” tanyaku basa-basi.
“Ya, begitulah. Tapi tak sehebat Reno” jawabnya sambil menyenggol lengan Reno dan tersenyum. Manis sekali.
Mereka tersenyum dan mulai membahas rencana-rencana untuk membuat tim mereka menang di pertandingan minggu depan. Aku hanya menatap mereka sambil sesekali mengangguk jika mereka meminta pendapatku. Lebih tepatnya, menatap seseorang yang kini ada di hadapanku. Lesung pipi itu sungguh membuatku terpesona. Pertemuan pertamaku dengan Dimas, yang tentu saja berkat bantuan Reno berjalan mulus. Tapi, seketika hancur saat cairan hangat itu mulai terjun indah dari hidungku. Aku segera menarik beberapa helai tissue dan mulai mengusap darah itu perlahan. Tapi sepertinya terlambat, kini, mereka menatapku panik.
“Aku tak apa” jawabku agar mereka sedikit tenang. Tapi benar, aku memang tidak apa-apa. Karena ini bukan pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini. Jadi, aku mulai terbiasa dengan darah yang tiba-tiba muncul dari hidungku.
“Sungguh?” tanya Dimas. Aku menangkap ada sedikit ketakutan di nada suaranya. Dia meletakkan kedua tangannya di pipiku dan mengusapnya perlahan. Tuhan, bolehkah aku meminta sesuatu? Tolong hentikan waktu untuk sebentar saja. Sungguh, aku ingin menikmati tiap detik kedekatan ini, Tuhan.
“Ya, aku baik-baik saja” jawabku yang segera menepis tangan Dimas. Aku melihat dua bola mata itu sedang menatap kami tak nyaman. Ya, aku tahu, Reno pasti cemburu. “Aku harus kembali ke kelas. Permisi” lanjutku sambil berjalan pergi meninggalkan mereka.
“Dari mana saja, Key?”
Aku tak menghiraukan pertanyaan Velia. Tiba-tiba saja detak jantungku berdegup tak menentu. Aku memang menyukai Dimas, tapi aku juga tidak ingin menyakiti Reno. Terlebih lagi, dia adalah sahabat Dimas.
“Mimisan lagi, Key?”
“Sudah biasa” jawabku ringan. “Tadi.. Aku bertemu dengan Dimas”
“Ah, benarkah? Lalu, bagaimana? Apa dia juga ramah padamu?”
Aku tersenyum samar, sengaja membuat Velia penasaran. Ya, Velia adalah anak yang tak suka dibuat penasaran. Dia akan terus menganggu jika rasa penasarannya tak terbalaskan.
“Ayolah, ceritakan padaku!”
“Iya, dia ramah. Dia juga terlihat khawatir saat aku mimisan tadi”
“Astaga, itu sebuah tanda bahwa dia juga menyukaimu, Key! Satu langkah lagi, dan kau akan menjadi kekasihnya! Ya, aku yakin” kata Velia dengan menggebu-gebu. Aku jadi geli sendiri mendengarnya.
“Kau ini, mana mungkin dia menyukaiku? Ini saja baru pertemuan kami yang pertama”
“Aku percaya akan cinta pada pandangan pertama, Key. Aku yakin, dia juga demikian. Dia mencintaimu pada pandangan pertama!”
“Astaga Vel, hentikan omong kosongmu ini. Asal kau tahu, aku geli mendengarnya! Sudahlah, aku tidak ingin berharap lebih walaupun nantinya keadaan bisa membuat kami bersama”
Velia mengangguk dan menyimpan suaranya. Pelajaran kembali berlangsung sampai bel pulang berbunyi. Seperti biasa, seluruh siswa bersorak gembira. Termasuk aku dan Velia. Hari ini, kami berencana akan menonton film di rumahku. Tapi, aku tahu itu hanya alasan Viola agar bisa bertemu dengan kak Ken.
“Hai” sapa seseorang dari belakang kami, saat kami mulai menuruni beberapa anak tangga. Aku menoleh dan menemukan dia, ya, kembali menatapku seperti biasa.
“Hai” sapa Velia ramah. Aku hanya tersenyum sambil melihat ke arah lapangan basket. Dan itu dia!
“Boleh aku bergabung bersama kalian? Kebetulan sekali hari ini tak ada latihan basket”
Aku tak mempedulikannya. Tiba-tiba saja, kaki ku berjalan menuju lapangan basket. Tersenyum dan menatap seseorang yang juga melemparkan senyumnya padaku.
“Hai” sapanya sambil tetap tersenyum. “Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?”
Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia ini. Senyum terus saja mengembang tanpa mau hilang. “Mmm, iya. Aku sudah terbiasa seperti tadi”
“Kau sakit?”
“Ah, tidak. Hanya terlalu lelah”
Dia mengangguk. “Kalau begitu, bolehkah aku mengantarmu pulang? Aku perhatikan, setiap hari kau pulang dengan berjalan kaki bersama teman wanitamu itu”
“Kau memerhatikanku setiap hari?” tanyaku tak percaya.
“Eh, maksudku.. Mmm.. Kebetulan saja kau lewat saat aku sedang berlatih basket” jelasnya dengan salah tingkah. Tuhan, apa perkataan Velia benar? Apa.. Perasaan ini tidak hanya aku yang merasakannya?
Aku menatap mata itu lekat. Dia kembali tersenyum dan mengusap belakang rambutnya. Gugup. Tapi aku tetap bahagia menikmati senyum dan lesung pipi itu.
“Jadi, bagaimana?” tanyanya lagi sambil mencoba bersikap tenang.
“Asal tidak merepotkanmu, aku tidak keberatan”
“Tentu saja tidak. Ayo” tiba-tiba saja, tangan hangat itu menggenggam tanganku. Aku terkejut, tapi dia tetap menggenggamnya, justru semakin erat.
Selama perjalanan, aku terus bersandar di punggungnya. Hangat, nyaman. Lagi-lagi, aku ingin waktu berhenti sebentar saja. Karena aku tak yakin, apa aku bisa merasakan kenyamanan ini lagi besok. Karena aku tak yakin, sampai kapan umur ini akan bertahan.
“Kita sudah sampai” katanya riang. Aku tersadar dari lamunan dan segera turun dari sepeda motor miliknya. Aku memandang rumahku dan pria itu bergantian. “Ada apa?” tanyanya.
“Aku bahkan belum memberitahumu di mana rumahku” jawabku polos.
Dia terlihat salah tingkah lagi. “Ah, itu.. Mmm” dia menghentikan kata-katanya dan terlihat sedang berpikir.
Aku tertawa pelan melihat raut wajahnya yang amat konyol. “Sudahlah, tak apa. Aku tahu kau keturunan dari Mama Lauren. Aku yakin kau bisa meramal”
Dia tersenyum kecut dan kembali mengusap rambut belakangnya lagi.
“Masuklah. Orangtuaku tak ada di rumah, hanya ada kakak dan dua pembantu rumah tangga”
“Hai, sudah pulang? Sendiri saja? Kau bilang, Velia akan ikut untuk menonton film di sini?” tanya kak Ken sembari mencium keningku.
“Aku tidak sendiri” jawabku sambil tersenyum lebar. “Masuklah”
“Hai, kak”
“Oh.. Bersama teman pria?” tanya kak Ken yang segera menyenggol lenganku. “Siapa namamu?”
“Dimas Putra” jawabnya kikuk. Lagi-lagi, wajahnya membuatku menahan tawa.
“Kemarilah, ikut denganku” kak Ken segera menggiring Dimas menuju ruang tamu sambil membicarakan sesuatu. Sesekali Dimas tersenyum.
Aku menuju kamar untuk berganti pakaian, sementara mereka masih asyik mengobrol. Entah apa yang mereka obrolkan. Aku berlari kecil saat bel rumahku berbunyi. Ku buka pintu itu, dan menemukan dia yang lagi-lagi menatapku dengan cara khasnya.
“Oh, hai”
“Keyla, kau ke mana saja? Tiba-tiba kau menghilang. Kenapa tidak memberitauku jika pulang lebih dulu?” omel Velia.
“Mmm.. Maaf. Tadi..”
“Hai” sosok itu muncul dari balik pintu. Ini bukan saatnya!
“Oh, jadi karena ini kau tiba-tiba menghilang?” senyum Velia melebar, tapi tidak dengan Reno yang sedari tadi tak membiarkan matanya beralih dariku.
“Kenapa berbicara di luar? Masuklah” sahut kak Ken.
“Hai kak Ken!” teriak Velia. “Baik lah, aku akan masuk karena kau yang menyuruhku masuk” katanya sambil berjalan memasuki rumahku, diikuti dengan Dimas dan menyisakan aku bersama Reno.
“Kau tak masuk?” tanyaku.
“Dimas yang mengantarmu pulang?”
“Mmm.. Iya. Dia hanya ingin memastikan bahwa aku selamat sampai rumah” jawabku bohong.
“Awalnya aku juga ingin memastikan bahwa kau selamat sampai rumah. Tapi sepertinya, Dimas mendahuluiku”
“Reno, aku minta maaf”
“Tak apa. Kau menyukai Dimas?”
Pertanyaan itu membuat tenggorokanku tercekat beberapa saat. Iya, tapi aku juga menghargaimu sebagai sahabatku, Ren. “Mmm.. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Kalau Dimas tak bisa membalas rasa cintamu, datanglah padaku. Aku akan terus menyimpan rasa cinta ini untukmu”
“Ren.. Aku..”
“Tak apa, sungguh. Aku.. Pulang sekarang. Masuklah”
“Maafkan aku Ren. Aku tidak ingin kau beranggapan bahwa aku hanya memanfaatkanmu untuk dekat dengan Dimas”
“Hei, cepat masuk. Film akan dimulai”
“Maaf tak bisa ikut, aku harus pulang. Key, jaga dirimu baik-baik”
“Ren, maaf” kataku penuh sesal.
Reno mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan aku dan Dimas saling diam dan menatap punggung itu hingga tak terlihat lagi.
“Reno menyukaimu?”
“Kau mendengarnya?”
“Samar-samar. Sudahlah, cepat masuk”
Aku mengangguk dan mengikuti Dimas dari belakang. Aku tidak boleh menyakiti mereka. Tidak boleh egois!
Hari ini, Reno tak datang ke kelasku. Entah dia ke mana. Iseng-iseng aku melewati kelas Reno untuk mengintipnya. Dan ya, dia di sana. Diam, sendiri, di pojok kelas. Menatap meja dengan pandangan kosong.
“Astaga, apa aku sudah menyakiti Reno?”
Tiba-tiba, mata itu bertemu dengan mataku. Aku mengalihkan pandanganku dan berjalan pergi menuju loker. Aku membuka loker itu perlahan dan melihat ada setangkai bunga dan satu tiket. “Tiket basket? Reno? Apa ini dari Reno?”
“Key”
Aku menoleh ke arah suara itu. Terkejut. “Vel, ada apa?”
“Bunga dari siapa, Key?”
“Mmm.. Tidak tahu. Tiba-tiba saja muncul di dalam lokerku”
“Ah, siapa tahu dari Dimas” kata Velia semangat. “Astaga, cintamu benar-benar terbalaskan, Key! Aku ikut bahagia”
“Tak ada bukti yang pasti. Sudahlah, aku ingin ke kantin”
“Akan ku temani” sahut Dimas yang tiba-tiba saja datang.
Velia mengangguk dan tersenyum usil. Lalu perlahan pergi meninggalkan kami. Aku tersenyum dan berjalan menuju kantin bersama Dimas. Tanpa tahu bahwa dua bola mata itu masih memandangku.
“Kau hanya tinggal bersama kak Ken?” tanya Dimas saat kami sudah duduk di bangku kantin.
“Bersama bi Inem dan pak Paijo juga”
“Lalu, orangtuamu?”
“Bekerja di luar kota. Dulu, mereka sudah bercerai. Tapi, kembali rukun karena pen..” Keyla tersadar bahwa dia sudah bercerita lebih dari porsi yang ditanyakan oleh Dimas. Dia tidak boleh bercerita sedikit pun tentang penyakitnya. Dimas tidak boleh tahu.
“Mmm.. Maksudku, karena mereka masih menyayangi kami. Mereka tidak ingin kami menjadi anak broken home”
“Oh, begitu” jawab Dimas sambil mengangguk. “Key, kau mau datang untuk melihatku bertanding basket beberapa hari lagi?”
Keyla terdiam. Reno sudah memintanya datang untuk melihatnya bermain basket terlebih dahulu, dan Reno juga berjanji akan memberikan kemenangan itu pada Keyla. Apa dia harus menyakiti Reno lagi? Dia sudah terlalu jahat pada Reno.
“Kalau kau tidak bisa, tak apa”
“Akan aku usahakan. Asal.. Kau bisa memimpin tim sekolah kita menjadi juara”
“Pasti! Dan kemenangan itu akan aku hadiahkan untukmu”
Astaga, apa lagi ini? Aku sudah membuat dua orang berharap padaku? Sedangkan aku sendiri tidak tahu pasti apa di hari itu aku masih bisa bernapas seperti saat ini atau tidak. Hari ini semua benar-benar membuat perasaanku tak menentu. Terlebih lagi, Dimas. Aku tidak ingin kedekatan kami akhir-akhir ini membuatku semakin berharap dan tak membuahkan hasil. Aku tidak ingin Dimas hanya menganggapku sebagai sahabat saat harapanku mulai besar.
Selama pelajaran berlangsung, aku tetap diam. Sampai bel berbunyi, aku tetap menyimpan suaraku. Aku berjalan menembus panasnya sinar matahari siang ini. Karena kebetulan rumahku tak jauh dari sekolah, jadi lebih baik aku berjalan kaki. Hingga seseorang menepuk punggungku dari belakang.
“Ini untukmu” katanya.
“Mmm.. Apa ini?”
“Tiket untuk menonton basket. Aku harap, kau mau datang untuk melihatku”
“Ren, aku.. Minta maaf”
“Kau tak akan datang?” ada sedikit kekecewaan dari sinar matanya.
“Akan aku usahakan. Tapi tak bisa berjanji”
Reno mengangguk. “Mau ku antar pulang?”
“Ah, tidak, tidak usah”
“Kau tidak ingin Dimas melihatku saat mengantarmu?”
“Reno, sudahlah. Aku tidak ingin membuatmu..”
Reno tersenyum lagi. “Tak apa. Baiklah, aku harus kembali ke dalam. Hati-hati” lanjutnya sambil berjalan pergi.
“Ren.. Aku minta maaf. Sungguh, aku tidak ingin membuatmu sakit”
Hari berganti hari, hingga tak terasa, pertandingan basket pun akan berlangsung. Semua siswa dan siswi sibuk membeli tiket masuk ke dalam arena basket. Tapi tidak denganku.
“Keyla!” teriak Velia saat aku berjalan menuju perpustakaan.
“Ada apa?”
“Kau tidak membeli tiket untuk menonton basket?”
“Tidak. Aku sudah mempunyai dua tiket. Satu untukku, dan satu untukmu”
“Kau sudah membelinya?”
Aku menggeleng. “Reno memberikan satu tiket untukku beberapa hari yang lalu. Tapi, entah ah. Satu tiket yang lain aku tidak tahu pasti dari siapa. Tiba-tiba saja muncul di lokerku beserta satu tangkai mawar”
“Mawar yang waktu itu ku lihat sedang kau genggam? Apa mungkin itu dari Dimas?”
“Aku justru mengira bahwa tiket dan bunga itu dari Reno”
“Astaga, sahabatku mempunyai penggemar rahasia?”
Aku tersenyum malu. Tiba-tiba saja, handphoneku berbunyi dengan keras. “Oh, hai. Ada apa?”
“Kau akan datang?” tanyanya.
“Tentu saja. Tapi, berlanjilah kemenangan itu milik tim sekolah kita”
“Pasti, Key. Apapun akan aku lakukan untukmu. Sampai bertemu nanti”
Satu jam kemudian, suporter dari SMA Pertiwi berangkat menaiki mini bus menuju tempat pertandingan basket. Sesampainya di sana, suasana mulai ricuh dengan suara dukungan-dukungan antar setiap sekolah. Mataku tak lepas dari ruang ganti, memastikan bahwa kedua orang itu benar-benar berjuang untuk kemenangan sekolah kami.
Saat pertandingan di mulai, suasana kembali riuh. Dimas yang berperan sebagai kapten basket dengan lincah menggiring bola dan berhasil memasukkannya ke dalam ring. Lagi-lagi, suporter dari SMA Pertiwi berteriak sekuat tenaga. Begitu juga dengan aku dan Velia, kami berdiri dan meneriakkan nama Dimas.
Papan nilai terus berubah. Kini, SMA Pertiwi mulai memimpin dua angka. Reno yang tak mau kalah dari Dimas terus berusaha memasukkan bola itu ke dalam ring, dan berhasil! Semua bersorak gembira atas kehebatan Reno yang mencetak tiga angka sekaligus. Reno melihat ke arah penonton, dan aku melambaikan tangan tinggi. Reno tersenyum dan kembali berkonsentrasi.
“Vel, aku.. Harus pulang terlebih dahulu” kataku sambil berbisik pada Velia. “Vel” kataku lagi. Tapi Velia tak mendengar. Mungkin karena suasana di sini cukup riuh. Aku memutuskan untuk berjalan melewati penonton yang lain dan ke luar dari tempat itu. Darah segar kembali menetes dari hidungku. Aku segera memanggil taksi dan memintanya untuk mengantar pulang.
“Keyla, kau kenapa?”
“Tak apa kak, hanya kelelahan”
Tanpa pikir panjang, kak Ken segera menggendongku dan membawaku ke kamar. Aku meminum beberapa pil obat dan beristirahat. “Raih piala itu untukku”
“Key, ada yang mencarimu” kata kak Ken sambil mengusap rambutku lembut. Aku membuka mata dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.
“Siapa?”
“Keluarlah. Dia menunggumu di bawah sayang”
Aku memijat keningku perlahan dan segera turun. “Dimas?”
“Hai, kau tak apa apa?” dia segera berdiri dan meletakkan kedua tangannya di bahuku.
Aku hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
“Kau tahu, aku sudah berhasil memimpin tim sekolah kita untuk meraih piala kemenangan. Tapi saat aku melihatmu di bangku penonton, kau sudah tidak ada. Dan Velia juga tidak tahu kau ke mana. Aku sangat khawatir dan..”
“Aku tak apa, Dim. Sungguh”
“Tapi wajahmu pucat”
“Mmm.. Selamat ya. Akhirnya kau berhasil membuat tim basket sekolah kita menang. Kau hebat” kataku tulus, yang tiba-tiba saja memeluknya. Entah kenapa, hatiku menyuruh tanpa bisa ku cegah.
“Key, aku ingin berbicara sesuatu”
Aku menepis pelukan itu dan melihat mata itu lekat. “Tentang apa?”
“Aku tidak tahu bagaimana mengatakan semuanya, tapi percayalah Key, aku mencintaimu. Aku tidak ingin kehilangan kau”
Aku tersentak kaget mendengar pengakuan itu. “Kau tidak berbohong?”
Dimas menggeleng. “Aku mencintaimu sejak dulu. Tapi aku tak pernah berani untuk mengatakan semuanya. Aku tahu, aku pria bodoh, aku pria penakut. Aku sudah membuatmu menunggu selama dua tahun ini, aku memang..”
“Kau tahu dari mana kalau aku sudah menunggumu selama dua tahun ini?” sahutku.
“Velia. Dia yang memberitahuku segala hal tentangmu. Tentang kau yang ternyata juga mencintaiku. Dan sejak saat itu, aku mulai memberanikan diri untuk mendekatimu”
“Tapi..” aku bingung harus berkata apa lagi. Aku memang menginginkan semua ini, tapi aku juga tak mau menyakitinya, karena penyakit ini bisa kapan saja menghentikan kehidupanku. “Aku.. Sudah memutuskan untuk berhenti berjuang mendapatkanmu”
“Kenapa? Key, aku sudah mengatakan semua perasaanku. Kita hanya perlu bersatu, kita yang akan berjuang. Bukan lagi kau, bukan juga aku. Kita pasti bahagia”
Aku menggeleng lagi. “Tidak, Dim. Lebih baik kita bersahabat”
Dimas menghembuskan napasnya pelan. “Sungguh tak ingin mencoba untuk berjuang bersama, Key?”
“Masih banyak wanita yang lebih baik dari aku, Dim”
“Aku tak butuh wanita baik kalau di hadapanku sudah ada wanita yang sempurna”
Aku tersenyum samar.
“Apa karena.. Kau memilih Reno?”
“Ah, tidak. Aku tidak memilih siapa pun”
Dimas mengangguk. “Baiklah. Aku.. Akan pergi besok”
“Pergi?” aku menoleh dan menatapnya tajam. “ke mana?”
“Mmm.. Pergi menjauh dari semua. Semua kenangan kita, kedekatan kita, dan.. Menjauh membawa cinta”
Aku menghela napas lagi. Tuhan, aku memang bodoh! Betapa teganya aku menyakiti dua orang yang menyayangiku. Tapi.. Tak ada pilihan lain.
“Kemarin adalah pertandingan terakhirku. Hari terakhirku menjabat sebagai kapten basket. Dan saat ini, adalah waktu terakhir aku bertemu denganmu”
“Dim, apa maksudmu? Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Aku.. Masih mencintaimu, sangat. Tapi.. Aku tak bisa”
“Tak apa. Suatu saat, kita pasti bertemu. Ku mohon, jaga hatimu untukku. Karena aku juga akan menjaga hatiku. Sampai nanti kita bertemu, dan bisa menyatukan cinta ini”
“Aku berjanji”
Dimas mengangguk dan tersenyum. “Baiklah, aku harus pulang. Sampai jumpa lagi. Entah kapan waktu akan menyatukan kita”
“Dimas!” teriakku sambil memeluknya erat.
Tiba-tiba saja, dua mata itu menatapku dari balik pagar rumahku. Dia, dia menatapku lagi dengan lekat. Menatapku dengan ribuan luka. Menatap orang yang dicintainya jatuh pada pelukan pria lain, pada sahabatnya sendiri.
“Aku mencitaimu, Key”
Aku menghela napas dan membiarkan dia pergi. Perlahan, tapi pasti. Begini pahit kah sebuah takdir cinta di hidupku, Tuhan? Aku memasuki kamar dan mengurung diri. Menangis selama berjam-jam. Tak peduli akan kehadiran Reno. Tak peduli pada siapa pun! Rasa ini terlalu sakit. Bahkan lebih sakit dari penyakit yang selama ini ku derita. Sakit saat kehilangan orang yang aku cintai, Dimas. Sejak kejadian itu, Dimas benar-benar menghilang. Di sekolah, aku tidak bertemu dengannya. Dia pindah, itu hal yang aku tahu. Lantas, untuk apa dia pindah? Untuk melupakanku? Atau dia tak benar-benar mencintaiku? Entahlah. Yang pasti, aku merasa sangat kehilangan dia.
Hari demi hari telah berlalu. Minggu demi minggu telah terlewati. Bulan demi bulan telah berganti. Akhirnya, Bunda dan Ayah memutuskan untuk mengeluarkan aku dari sekolah. Bukan karena aku berbuat masalah, melainkan karena dokter menyuruhku untuk menginap di rumah sakit. Ya, penyakitku bertambah parah. Semua pengobatan itu tak berguna. Dan kini, hanya menghitung hari sebelum aku benar-benar pergi dari dunia ini.
“Selamat siang Keyla” sapa dokter Iwan, dokter pribadiku.
“Selamat siang dok”
“Sekarang dokter akan tunjukkan kamar inapmu. Tenang saja, kau tidak sendirian”
“Ah, benarkah dok?”
“Iya sayang. Kau akan mempunyai teman untuk bercerita. Jadi, kau tak akan kesepian”
Aku tersenyum senang. Aku tak akan sendiri, syukurlah.
“Silahkan tidur di sini. Sepertinya, teman di ranjang sebelah sedang istirahat. Tunggu saja sampai dia bangun. Kalian bisa berkenalan”
“Baik dok, terima kasih”
Dokter Iwan tersenyum dan berjalan pergi. Aku menghela napas pelan.
“Dimas, sampai ketemu di hari nanti. Di kebahagiaan kita, di masa depan”
Kini, aku sudah berada di ruang Anggrek lantai tiga. Ruangan yang hanya berisi dua pasien, satu tv, dan satu sofa. Ya, ruangan itu cukup nyaman menurutku. Terlebih lagi, aku tak sendiri di sini. Tiba-tiba, sebuah suara muncul dari ranjang sebelah. Tirai itu juga bergerak pelan.
“Hei, ada orang di sana?”
“Suara itu..” aku menghela napas. “Tidak, tidak mungkin”
“Siapa namamu? Kenalkan, namaku Dimas. Kau bisa memanggilku Dim atau Putra”
Aku terlonjak kaget. “Di.. Mas?” aku segera turun dari ranjang dan membuka tirai itu cepat. Dan.. Benar! Dia ada di sana. Tertidur di ranjang dan berwajah pucat.
“Keyla?” dia juga terlihat kaget. Dia berdiri dengan susah payah dan mulai meneteskan air matanya.
“Dimas, kau.. Sedang apa di sini?”
Dimas tak menjawab dan segera memelukku erat. Sangat erat.
“Dim, jadi ini alasanmu tak memberitahuku ke mana kau pindah? Kau.. Juga sakit?”
“Ini juga alasanmu tak ingin memperjuangkan cinta kita?” Dimas balik bertanya.
“Aku.. Hanya merasa tidak pantas untukmu. Dengan keadaanku yang sekarang, dengan penyakitku, dengan umur yang kapan saja bisa berakhir”
“Lantas, apa bedanya kita? Lihat aku, Key! Aku juga menghabiskan sisa umurku di sini. Menunggu. Entah sampai kapan” kata-kata itu memang lembut, namun berhasil membuatku menangis.
“Dimas, dengar..”
“Kau yang harus mendengarkanku, Key! Kita sama. Sewaktu-waktu kita bisa saja saling kehilangan. Aku kehilangan kau, dan kau kehilangan aku. Aku memang sempat berpikir jika kita tidak akan mungkin bertemu lagi. Tapi ternyata aku salah. Kita memang ditakdirkan untuk bersama”
“Dimas, stop!”
“Keyla, dengarkan aku! Aku berjanji akan memberikanmu kebahagiaan di sisa waktu kita”
“Dimas, aku juga mencintaimu” aku memeluknya lagi. Menangis di pelukannya, itu yang membuatku nyaman. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Tidak untuk saat ini, dan seterusnya.