Kecewa, itulah yang saat ini kurasakan. Bertahun-tahun kuabdikan hidupku
untuk menjadi istri dan ibu dari ketiga anakmu. Nyatanya dengan begitu
mudah kau campakkan aku hanya karena aku tak mampu memberiku seorang
anak perempuan. Tanpa beban sedikitpun, kau kenalkan dia sebagai sosok
yang bisa kau harapkan mampu memuaskan impianmu.
Awalnya sulit menerima penghianatan ini. Aku terus coba mengejarmu,
meraih tanganmu. Tapi kau justru menolak uluran tanganku. Aku masa lalu,
dan perempuan itu adalah masa depan, dimana harapanmu bertumpu. Sakit,
perih, saat aku tak bisa meraihmu karena eratnya pelukannya. Putus asa,
akupun coba meraih jalan terburuk yakni melepasmu.
Ketika semua berkas sudah siap dibawa ke pengadilan, tangan-tangan
mungil anakmu memaksaku untuk membatalkan semuanya. Hatiku mendadak
luluh dan tak mampu menolak harapnya. Mungkin mereka benar, aku bisa
saja tidak membutuhkan hadirmu, namun bagaimana dengan mereka? Tak
bertindak, aku berasa bagai kerbau dungu yang menurut saja melihat
tingkah lakunya. Bergerak, aku justru merasa lemah kala memandang sorot
mata lugu penuh harap akan kemurahanku.
Dalam diam kucoba bertahan, karena kutahu bahwa hidup tak hanya soal
menang dan kalah. Hidup adalah perjuangan sampai titik darah penghabisan
untuk meraih kebahagiaan yang hakiki. Kini dan nanti, aku akan mencoba
berdamai dengan hati yang kian lara. Biarlah, meski berat kan kucoba
merawat luka diri yang mungkin hanya bisa sembuh oleh hadirmu.
“Ma, kenapa ayah semakin jarang pulang ke rumah?”tanya sulungku saat menyadari ketidak hadiran ayahnya beberapa waktu lamanya.
“Biasa, ayahmu lagi dinas di luar kota. Kamu yang sabar sayang,”ujarku coba menghiburnya.
Sehari dua hari, aku bisa saja berbohong akan keberadaan ayahnya. Namun
cerita-cerita diluar sana dan fakta yang kemudian berhasil dibawa anakku
kehadapanku membuatku tak berkutik lagi. Aku tak mampu lagi menciptakan
sosok ayah terbaik untuk mereka, karena ulah suamiku yang menodai
kecercayaan buah hatinya sendiri.
Tangis kamipun pecah seketika. Manakala sulung memaksa ingin tahu
kronologi hingga ayahnya terjerat cinta wanita penggoda itu. Meskipun
aku tahu bahwa anakku tak mungkin bisa memahami dengan sempurna tentang
rasa sakit yang kualami, namun kucoba jujur padanya.
“Yang sabar ya, Ma. Mungkin mama sakit hati dan terluka karena ulah
ayah, tapi bersabarlah demi kami ya, Ma!”ujar putra sulungku penuh
harap.
Kuhela nafas perlahan. Benar juga kata putraku, aku tidak boleh
menyerah. Hidup kami harus tetap berjalan meski tanpa kehadirannya
disisi. Untuk sementara, kucoba bersabar mengikuti alur yang ada seraya
berharap akan datang keajaiban yang dapat mengembalikan semua
kebahagiaan.
Meski diam, aku terus memantau gerak-gerik suamiku dan wanita yang
kabarnya sudah dinikahinya secara siri. Hatiku begitu was-was manakala
tahu kalau wanita itu tengah mengandung buah cintanya dengan suamiku.
Apalagi mendengar cerita tetangga sekitar rumah wanita nakal itu,
suamiku akan menceraikanku dan menikahinya secara sah jika berhasil
memberinya anak perempuan.
Kutukan demi kutukan terlontar dari bibirku. Aku tak menyangka, pikiran
suamiku begitu picik. Disaat emosiku memuncak, kembali tangan-tangan
mungil anakku mencoba membelai hatiku hingga aku kembali melunak.
“Berdoa, Ma. Karena hanya doa yang mampu merubah segalanya,”kata sulungku bijak.
Ujian dan nasihat orang-orang disekitarnya, membuat pikiran anakku
semakin bijak. Sungguh aku merasa malu, jika tak bisa menjadikan ujian
ini sebagai celah untuk menggapai ridho_Nya. Kini di setiap waktuku, aku
mencoba hapus gelisah dengan lantunan doa dan pengharapan untuk
keutuhan rumah tanggaku.
Hari itupun tiba, dimana kulihat kekecewaan dimatanya. Wanita yang diharapkan mampu mewujudkan impiannya, ternyata
melahirkan bayi laki-laki. Hatiku tersenyum kala itu, setidaknya aku
merasa Allah masih berpihak padaku. Namun cemas kembali menghantui
manakala aku mendengar cerita kalau si perempuan itu tak akan pernah
menyerah untuk bisa memberikan anak perempuan kepada suamiku.
Tepat tujuh bulan kemudian, aku mendengar kehamilannya lagi. Kembali aku
dilanda kecemasan yang mendalam manakala ancaman perceraian seraya
melayang-layang dalam ingatanku. Kembali kusungkurkan diri dalam sujud
panjang dihadapan_Mu. Kuminta agar mata hati suamiku terbuka dan bisa
mengingat kenangan indah bersama kami.
Keajaibanpun berulang. Aku kembali menatap kekecewaan dimatanya. Kala
itu, hatiku justru menangis iba. Kubelai rambutnya yang terlihat kumal,
kutatap mata lelah yang tengah tergolek disampingku. Seandainya kamu
bisa mensyukuri apa yang ada, mungkin takkan begini kejadiannya. Batinku
bergejolak.
Menyadari kehadiranku, dia langsung bangun. Tak seperti biasanya yang
menghindar dariku, sikapnya terlihat manja saat menyapaku. Aku tahu, ada
rindu yang ia simpan untukku setelah hampir dua tahun lebih dia asyik
dengan dunia barunya bersama maduku. Ya, rindu sangat jelas terlihat
manakala genggaman tanganku dibalasnya dengan pelukan yang sangat
hangat.
Kedekatan kami tak berlangsung lama. Seperti biasa ketika tahu suamiku
berada di rumahnya, perempuan itu akan langsung menelponnya. Bodohnya
lagi, suamiku tak pernah berusaha adil padaku. Dia akan langsung angkat
kaki dari rumah kami. Lagi-lagi aku harus menahan perih atas sikapnya
yang lebih mengutamakan perempuan itu.
Hari berlalu bulan berganti menyongsong tahun-tahun berikutnya. Aku
tetap berada diposisi yang sama, menanti dengan penuh harap akan
datangnya keajaiban. Suamiku masih asyik dengan impiannya, karena wanita
itu tak pernah menyerah memberikan harapan palsunya kepada suamiku.
***
Tak ada angin, tak ada hujan, mendadak dia bersimpuh dengan berurai air
mata dihadapanku. Aku hanya bisa membelai punggungnya perlahan sembari
bertanya, apakah gerangan yang membuatnya serapuh ini. Dia tak mampu
berkata apapun kecuali larut dalam isakan tangisnya sembari memohon agar
aku mengampuni khilafnya. Perlahan aku memaksanya untuk jujur tentang
perasaannya.
“Ampuni kebodohanku selama ini, Ma,”katanya sembari membenamkan kepalanya dipangkuanku.
Kuhela nafas perlahan. Sejenak kucoba menghapus luka hati yang sudah dia
torehkan dihatiku. Mendadak rasa sakit kembali terasa manakala kenangan
pahit itu menari dipelupuk mata. Sejujurnya hatiku sangat kecewa dan
terluka, namun melihatmu selemah ini, aku jadi tidak tega untuk
membalaskan rasa sakit yang sudah lama kupendam.
Kutuntun tubuhnya menuju ke ranjang. Setelah emosinya redam, aku coba
menelisik ke dalam hatinya. Dia hanya tersenyum seraya membelai lembut
rambutku. Penyesalan terlihat jelas diwajahnya, “Ma, maukah kamu
memberiku satu kesempatan lagi?”ucapnya dengan suara parau.
“Kesempatan itu selalu ada, Yah. Asalkan kamu janji tidak mengulanginya lagi,”jawabku dengan mata berkaca-kaca.
Kulihat dia menganggukkan kepalanya perlahan tanda setuju dengan
persyaratan yang kuajukan. Setelah dia sedikit tenang, aku baru mengerti
masalah apa yang tengah menimpanya hingga dia begitu terluka dan
kecewa.
“Beruntung aku masih punya kalian, Ma. Aku gak bisa membayangkan bagaimana aku bisa bertahan tanpa kalian,”ucapnya terbata-bata.
Ternyata perempuan nakal itu tidak pernah berubah meskipun sudah menjadi
istri dari suamiku. Bahkan dengan mata dan kepalanya sendiri, suamiku
memergoki istrinya tengah bermesraan dengan lelaki lain. Kemarahannya
semakin memuncak manakala hasil tes DNA menyebutkan bahwa anak-anak yang
dilahirkan perempuan itu, bukanlah darah dagingnya.
Aku tidak tahu lagi apakah harus tertawa atau menangis. Yang jelas, ada
rasa lega dan syukur yang tak hentinya menyeruak manakala senyum kembali
membias diwajah anak-anakku. Lara hati yang kurasakan selama beberapa
tahun terakhir ini serasa menguap begitu saja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar