script src="http://sites.google.com/site/amatullah83/js-indahnyaberbagi/bintang.hijau.js" type="text/javascript"

Jumat, 24 Juni 2016

Inikah Takdir, Tuhan

“Hei, kemarilah. Cepat lihat, siapa yang sedang berlatih basket di lapangan itu!”
Aku berjalan pelan menuju jendela di ruang kelasku. Sekedar mengintip seorang pria yang sudah dua tahun ini hadir di hatiku. Dia berlari kesana-kemari dengan lincah sambil menggiring bola basket di tangannya. Dan berkali-kali pula bola itu berhasil masuk ke dalam ring dengan indah.
“Tampan, ya, tampan sekali” kataku.
“Jadi, sudah seberapa jauh kau berjuang untuk mendapatkannya?” tanya Velia yang segera berdiri di sampingku. Menatapku tanpa rasa bersalah.
“Berjuang? Untuk mendapatkan Dimas? Mmm.. Entahlah, aku tidak tahu”
“Key, hampir semua wanita di sekolah ini juga menyukainya. Apa kau mau, pangeran hatimu itu diambil oleh orang lain?”
“Oleh karena itu, aku tidak ingin berjuang apa-apa. Aku tidak akan bisa mengalahkan mereka. Kalau pun akhirnya Dimas menyukai salah satu dari mereka, ya, sudahlah. Aku tak apa”
“Karena penyakitmu? Sudahlah, kau pasti sembuh. Jangan khawatirkan apa pun, Key”
Aku menghela napas pelan. Melihat Dimas sekali lagi, dan berjalan ke tempat duduk. Aku tidak akan berjuang apa-apa pada siapa pun. Aku hanya ingin fokus pada sekolah dan penyakitku. Hanya ingin berjuang untuk kesembuhanku, walaupun aku sendiri tidak tahu apa perjuanganku ini bisa menghasilkan kesembuhan atau justru kematian. Yang terpenting, aku sudah berusaha semampuku melawan semua ini.
“Apa aku perlu turun tangan, Key?”
“Untuk apa?”
“Untuk membantumu dengan Dimas? Key, Dimas tidak akan tahu apa pun tentang perasaanmu kalau kau tidak menunjukkan suatu tindakan atau..”
“Vel, sudahlah. Aku tidak ingin mengurus sesuatu yang tidak berkaitan dengan sekolah atau penyakitku. Aku hanya menganggapnya sebagai penyemangat, tidak lebih dan tidak ingin berharap lebih” kataku sambil berjalan pergi.
“Key” panggil seseorang dari belakangku. Aku menoleh dan menemukan dia sedang berdiri menatapku. Ya, menatapku.
“Oh, hai. Mencariku?”
“Kau ingin ke kantin?” tanyanya ramah.
“Sepertinya begitu. Ada apa?”
“Boleh aku menemanimu?”
“Ya, silahkan saja” kataku cuek dan kembali berjalan. Dia tersenyum dan ikut berjalan di sampingku. “Mmm.. Kapan pertandingan basket berlangsung?”
“Satu minggu lagi. Kau mau datang untuk melihatku, kan?”
“Akan aku usahakan. Asal di akhir pertandingan, kalian yang membawa piala itu”
“Aku akan menghadiahkan kemenangan itu khusus untukmu, Key”
Aku tersenyum dan duduk di bangku kantin paling ujung bersama Reno. Salah satu teman pria yang akhir-akhir ini dekat denganku. Ya, hubungan kami berjalan dekat begitu saja. Tapi, aku sama sekali tidak keberatan. Alasannya karena Reno adalah sahabat Dimas. Dengan kata lain, aku juga bisa dekat dengan Dimas jika aku dekat dengan Reno. Bukan memanfaatkan kedekatan kami, tapi beginilah satu-satunya cara agar aku bisa sedikit mengenal sosok Dimas. Ya, mungkin Reno tidak keberatan.
“Hai!” sapanya. Ya, dia. Dia yang sejak tadi ku tunggu, akhirnya menampakkan dirinya di antara aku dan Reno.
“Kau sudah mengenal wanita cantik ini?” tanya Reno sambil berbisik. Tapi aku bisa mendengarnya dengan samar.
Dimas hanya melirikku sekilas dan kembali menatap Reno sambil berbisik. “Hai, namaku Dimas” katanya sambil mengulurkan tangannya. Aku terpaku beberapa saat sebelum menerima uluran tangan itu.
“Keyla” jawabku sambil tersenyum. Gugup, tapi bahagia. Gemetar, tapi mencoba untuk tenang. “Kau yang menjabat sebagai kapten basket di SMA ini?” tanyaku basa-basi.
“Ya, begitulah. Tapi tak sehebat Reno” jawabnya sambil menyenggol lengan Reno dan tersenyum. Manis sekali.
Mereka tersenyum dan mulai membahas rencana-rencana untuk membuat tim mereka menang di pertandingan minggu depan. Aku hanya menatap mereka sambil sesekali mengangguk jika mereka meminta pendapatku. Lebih tepatnya, menatap seseorang yang kini ada di hadapanku. Lesung pipi itu sungguh membuatku terpesona. Pertemuan pertamaku dengan Dimas, yang tentu saja berkat bantuan Reno berjalan mulus. Tapi, seketika hancur saat cairan hangat itu mulai terjun indah dari hidungku. Aku segera menarik beberapa helai tissue dan mulai mengusap darah itu perlahan. Tapi sepertinya terlambat, kini, mereka menatapku panik.
“Aku tak apa” jawabku agar mereka sedikit tenang. Tapi benar, aku memang tidak apa-apa. Karena ini bukan pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini. Jadi, aku mulai terbiasa dengan darah yang tiba-tiba muncul dari hidungku.
“Sungguh?” tanya Dimas. Aku menangkap ada sedikit ketakutan di nada suaranya. Dia meletakkan kedua tangannya di pipiku dan mengusapnya perlahan. Tuhan, bolehkah aku meminta sesuatu? Tolong hentikan waktu untuk sebentar saja. Sungguh, aku ingin menikmati tiap detik kedekatan ini, Tuhan.
“Ya, aku baik-baik saja” jawabku yang segera menepis tangan Dimas. Aku melihat dua bola mata itu sedang menatap kami tak nyaman. Ya, aku tahu, Reno pasti cemburu. “Aku harus kembali ke kelas. Permisi” lanjutku sambil berjalan pergi meninggalkan mereka.
“Dari mana saja, Key?”
Aku tak menghiraukan pertanyaan Velia. Tiba-tiba saja detak jantungku berdegup tak menentu. Aku memang menyukai Dimas, tapi aku juga tidak ingin menyakiti Reno. Terlebih lagi, dia adalah sahabat Dimas.
“Mimisan lagi, Key?”
“Sudah biasa” jawabku ringan. “Tadi.. Aku bertemu dengan Dimas”
“Ah, benarkah? Lalu, bagaimana? Apa dia juga ramah padamu?”
Aku tersenyum samar, sengaja membuat Velia penasaran. Ya, Velia adalah anak yang tak suka dibuat penasaran. Dia akan terus menganggu jika rasa penasarannya tak terbalaskan.
“Ayolah, ceritakan padaku!”
“Iya, dia ramah. Dia juga terlihat khawatir saat aku mimisan tadi”
“Astaga, itu sebuah tanda bahwa dia juga menyukaimu, Key! Satu langkah lagi, dan kau akan menjadi kekasihnya! Ya, aku yakin” kata Velia dengan menggebu-gebu. Aku jadi geli sendiri mendengarnya.
“Kau ini, mana mungkin dia menyukaiku? Ini saja baru pertemuan kami yang pertama”
“Aku percaya akan cinta pada pandangan pertama, Key. Aku yakin, dia juga demikian. Dia mencintaimu pada pandangan pertama!”
“Astaga Vel, hentikan omong kosongmu ini. Asal kau tahu, aku geli mendengarnya! Sudahlah, aku tidak ingin berharap lebih walaupun nantinya keadaan bisa membuat kami bersama”
Velia mengangguk dan menyimpan suaranya. Pelajaran kembali berlangsung sampai bel pulang berbunyi. Seperti biasa, seluruh siswa bersorak gembira. Termasuk aku dan Velia. Hari ini, kami berencana akan menonton film di rumahku. Tapi, aku tahu itu hanya alasan Viola agar bisa bertemu dengan kak Ken.
“Hai” sapa seseorang dari belakang kami, saat kami mulai menuruni beberapa anak tangga. Aku menoleh dan menemukan dia, ya, kembali menatapku seperti biasa.
“Hai” sapa Velia ramah. Aku hanya tersenyum sambil melihat ke arah lapangan basket. Dan itu dia!
“Boleh aku bergabung bersama kalian? Kebetulan sekali hari ini tak ada latihan basket”
Aku tak mempedulikannya. Tiba-tiba saja, kaki ku berjalan menuju lapangan basket. Tersenyum dan menatap seseorang yang juga melemparkan senyumnya padaku.
“Hai” sapanya sambil tetap tersenyum. “Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?”
Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia ini. Senyum terus saja mengembang tanpa mau hilang. “Mmm, iya. Aku sudah terbiasa seperti tadi”
“Kau sakit?”
“Ah, tidak. Hanya terlalu lelah”
Dia mengangguk. “Kalau begitu, bolehkah aku mengantarmu pulang? Aku perhatikan, setiap hari kau pulang dengan berjalan kaki bersama teman wanitamu itu”
“Kau memerhatikanku setiap hari?” tanyaku tak percaya.
“Eh, maksudku.. Mmm.. Kebetulan saja kau lewat saat aku sedang berlatih basket” jelasnya dengan salah tingkah. Tuhan, apa perkataan Velia benar? Apa.. Perasaan ini tidak hanya aku yang merasakannya?
Aku menatap mata itu lekat. Dia kembali tersenyum dan mengusap belakang rambutnya. Gugup. Tapi aku tetap bahagia menikmati senyum dan lesung pipi itu.
“Jadi, bagaimana?” tanyanya lagi sambil mencoba bersikap tenang.
“Asal tidak merepotkanmu, aku tidak keberatan”
“Tentu saja tidak. Ayo” tiba-tiba saja, tangan hangat itu menggenggam tanganku. Aku terkejut, tapi dia tetap menggenggamnya, justru semakin erat.
Selama perjalanan, aku terus bersandar di punggungnya. Hangat, nyaman. Lagi-lagi, aku ingin waktu berhenti sebentar saja. Karena aku tak yakin, apa aku bisa merasakan kenyamanan ini lagi besok. Karena aku tak yakin, sampai kapan umur ini akan bertahan.
“Kita sudah sampai” katanya riang. Aku tersadar dari lamunan dan segera turun dari sepeda motor miliknya. Aku memandang rumahku dan pria itu bergantian. “Ada apa?” tanyanya.
“Aku bahkan belum memberitahumu di mana rumahku” jawabku polos.
Dia terlihat salah tingkah lagi. “Ah, itu.. Mmm” dia menghentikan kata-katanya dan terlihat sedang berpikir.
Aku tertawa pelan melihat raut wajahnya yang amat konyol. “Sudahlah, tak apa. Aku tahu kau keturunan dari Mama Lauren. Aku yakin kau bisa meramal”
Dia tersenyum kecut dan kembali mengusap rambut belakangnya lagi.
“Masuklah. Orangtuaku tak ada di rumah, hanya ada kakak dan dua pembantu rumah tangga”
“Hai, sudah pulang? Sendiri saja? Kau bilang, Velia akan ikut untuk menonton film di sini?” tanya kak Ken sembari mencium keningku.
“Aku tidak sendiri” jawabku sambil tersenyum lebar. “Masuklah”
“Hai, kak”
“Oh.. Bersama teman pria?” tanya kak Ken yang segera menyenggol lenganku. “Siapa namamu?”
“Dimas Putra” jawabnya kikuk. Lagi-lagi, wajahnya membuatku menahan tawa.
“Kemarilah, ikut denganku” kak Ken segera menggiring Dimas menuju ruang tamu sambil membicarakan sesuatu. Sesekali Dimas tersenyum.
Aku menuju kamar untuk berganti pakaian, sementara mereka masih asyik mengobrol. Entah apa yang mereka obrolkan. Aku berlari kecil saat bel rumahku berbunyi. Ku buka pintu itu, dan menemukan dia yang lagi-lagi menatapku dengan cara khasnya.
“Oh, hai”
“Keyla, kau ke mana saja? Tiba-tiba kau menghilang. Kenapa tidak memberitauku jika pulang lebih dulu?” omel Velia.
“Mmm.. Maaf. Tadi..”
“Hai” sosok itu muncul dari balik pintu. Ini bukan saatnya!
“Oh, jadi karena ini kau tiba-tiba menghilang?” senyum Velia melebar, tapi tidak dengan Reno yang sedari tadi tak membiarkan matanya beralih dariku.
“Kenapa berbicara di luar? Masuklah” sahut kak Ken.
“Hai kak Ken!” teriak Velia. “Baik lah, aku akan masuk karena kau yang menyuruhku masuk” katanya sambil berjalan memasuki rumahku, diikuti dengan Dimas dan menyisakan aku bersama Reno.
“Kau tak masuk?” tanyaku.
“Dimas yang mengantarmu pulang?”
“Mmm.. Iya. Dia hanya ingin memastikan bahwa aku selamat sampai rumah” jawabku bohong.
“Awalnya aku juga ingin memastikan bahwa kau selamat sampai rumah. Tapi sepertinya, Dimas mendahuluiku”
“Reno, aku minta maaf”
“Tak apa. Kau menyukai Dimas?”
Pertanyaan itu membuat tenggorokanku tercekat beberapa saat. Iya, tapi aku juga menghargaimu sebagai sahabatku, Ren. “Mmm.. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Kalau Dimas tak bisa membalas rasa cintamu, datanglah padaku. Aku akan terus menyimpan rasa cinta ini untukmu”
“Ren.. Aku..”
“Tak apa, sungguh. Aku.. Pulang sekarang. Masuklah”
“Maafkan aku Ren. Aku tidak ingin kau beranggapan bahwa aku hanya memanfaatkanmu untuk dekat dengan Dimas”
“Hei, cepat masuk. Film akan dimulai”
“Maaf tak bisa ikut, aku harus pulang. Key, jaga dirimu baik-baik”
“Ren, maaf” kataku penuh sesal.
Reno mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan aku dan Dimas saling diam dan menatap punggung itu hingga tak terlihat lagi.
“Reno menyukaimu?”
“Kau mendengarnya?”
“Samar-samar. Sudahlah, cepat masuk”
Aku mengangguk dan mengikuti Dimas dari belakang. Aku tidak boleh menyakiti mereka. Tidak boleh egois!
Hari ini, Reno tak datang ke kelasku. Entah dia ke mana. Iseng-iseng aku melewati kelas Reno untuk mengintipnya. Dan ya, dia di sana. Diam, sendiri, di pojok kelas. Menatap meja dengan pandangan kosong.
“Astaga, apa aku sudah menyakiti Reno?”
Tiba-tiba, mata itu bertemu dengan mataku. Aku mengalihkan pandanganku dan berjalan pergi menuju loker. Aku membuka loker itu perlahan dan melihat ada setangkai bunga dan satu tiket. “Tiket basket? Reno? Apa ini dari Reno?”
“Key”
Aku menoleh ke arah suara itu. Terkejut. “Vel, ada apa?”
“Bunga dari siapa, Key?”
“Mmm.. Tidak tahu. Tiba-tiba saja muncul di dalam lokerku”
“Ah, siapa tahu dari Dimas” kata Velia semangat. “Astaga, cintamu benar-benar terbalaskan, Key! Aku ikut bahagia”
“Tak ada bukti yang pasti. Sudahlah, aku ingin ke kantin”
“Akan ku temani” sahut Dimas yang tiba-tiba saja datang.
Velia mengangguk dan tersenyum usil. Lalu perlahan pergi meninggalkan kami. Aku tersenyum dan berjalan menuju kantin bersama Dimas. Tanpa tahu bahwa dua bola mata itu masih memandangku.
“Kau hanya tinggal bersama kak Ken?” tanya Dimas saat kami sudah duduk di bangku kantin.
“Bersama bi Inem dan pak Paijo juga”
“Lalu, orangtuamu?”
“Bekerja di luar kota. Dulu, mereka sudah bercerai. Tapi, kembali rukun karena pen..” Keyla tersadar bahwa dia sudah bercerita lebih dari porsi yang ditanyakan oleh Dimas. Dia tidak boleh bercerita sedikit pun tentang penyakitnya. Dimas tidak boleh tahu.
“Mmm.. Maksudku, karena mereka masih menyayangi kami. Mereka tidak ingin kami menjadi anak broken home”
“Oh, begitu” jawab Dimas sambil mengangguk. “Key, kau mau datang untuk melihatku bertanding basket beberapa hari lagi?”
Keyla terdiam. Reno sudah memintanya datang untuk melihatnya bermain basket terlebih dahulu, dan Reno juga berjanji akan memberikan kemenangan itu pada Keyla. Apa dia harus menyakiti Reno lagi? Dia sudah terlalu jahat pada Reno.
“Kalau kau tidak bisa, tak apa”
“Akan aku usahakan. Asal.. Kau bisa memimpin tim sekolah kita menjadi juara”
“Pasti! Dan kemenangan itu akan aku hadiahkan untukmu”
Astaga, apa lagi ini? Aku sudah membuat dua orang berharap padaku? Sedangkan aku sendiri tidak tahu pasti apa di hari itu aku masih bisa bernapas seperti saat ini atau tidak. Hari ini semua benar-benar membuat perasaanku tak menentu. Terlebih lagi, Dimas. Aku tidak ingin kedekatan kami akhir-akhir ini membuatku semakin berharap dan tak membuahkan hasil. Aku tidak ingin Dimas hanya menganggapku sebagai sahabat saat harapanku mulai besar.
Selama pelajaran berlangsung, aku tetap diam. Sampai bel berbunyi, aku tetap menyimpan suaraku. Aku berjalan menembus panasnya sinar matahari siang ini. Karena kebetulan rumahku tak jauh dari sekolah, jadi lebih baik aku berjalan kaki. Hingga seseorang menepuk punggungku dari belakang.
“Ini untukmu” katanya.
“Mmm.. Apa ini?”
“Tiket untuk menonton basket. Aku harap, kau mau datang untuk melihatku”
“Ren, aku.. Minta maaf”
“Kau tak akan datang?” ada sedikit kekecewaan dari sinar matanya.
“Akan aku usahakan. Tapi tak bisa berjanji”
Reno mengangguk. “Mau ku antar pulang?”
“Ah, tidak, tidak usah”
“Kau tidak ingin Dimas melihatku saat mengantarmu?”
“Reno, sudahlah. Aku tidak ingin membuatmu..”
Reno tersenyum lagi. “Tak apa. Baiklah, aku harus kembali ke dalam. Hati-hati” lanjutnya sambil berjalan pergi.
“Ren.. Aku minta maaf. Sungguh, aku tidak ingin membuatmu sakit”
Hari berganti hari, hingga tak terasa, pertandingan basket pun akan berlangsung. Semua siswa dan siswi sibuk membeli tiket masuk ke dalam arena basket. Tapi tidak denganku.
“Keyla!” teriak Velia saat aku berjalan menuju perpustakaan.
“Ada apa?”
“Kau tidak membeli tiket untuk menonton basket?”
“Tidak. Aku sudah mempunyai dua tiket. Satu untukku, dan satu untukmu”
“Kau sudah membelinya?”
Aku menggeleng. “Reno memberikan satu tiket untukku beberapa hari yang lalu. Tapi, entah ah. Satu tiket yang lain aku tidak tahu pasti dari siapa. Tiba-tiba saja muncul di lokerku beserta satu tangkai mawar”
“Mawar yang waktu itu ku lihat sedang kau genggam? Apa mungkin itu dari Dimas?”
“Aku justru mengira bahwa tiket dan bunga itu dari Reno”
“Astaga, sahabatku mempunyai penggemar rahasia?”
Aku tersenyum malu. Tiba-tiba saja, handphoneku berbunyi dengan keras. “Oh, hai. Ada apa?”
“Kau akan datang?” tanyanya.
“Tentu saja. Tapi, berlanjilah kemenangan itu milik tim sekolah kita”
“Pasti, Key. Apapun akan aku lakukan untukmu. Sampai bertemu nanti”
Satu jam kemudian, suporter dari SMA Pertiwi berangkat menaiki mini bus menuju tempat pertandingan basket. Sesampainya di sana, suasana mulai ricuh dengan suara dukungan-dukungan antar setiap sekolah. Mataku tak lepas dari ruang ganti, memastikan bahwa kedua orang itu benar-benar berjuang untuk kemenangan sekolah kami.
Saat pertandingan di mulai, suasana kembali riuh. Dimas yang berperan sebagai kapten basket dengan lincah menggiring bola dan berhasil memasukkannya ke dalam ring. Lagi-lagi, suporter dari SMA Pertiwi berteriak sekuat tenaga. Begitu juga dengan aku dan Velia, kami berdiri dan meneriakkan nama Dimas.
Papan nilai terus berubah. Kini, SMA Pertiwi mulai memimpin dua angka. Reno yang tak mau kalah dari Dimas terus berusaha memasukkan bola itu ke dalam ring, dan berhasil! Semua bersorak gembira atas kehebatan Reno yang mencetak tiga angka sekaligus. Reno melihat ke arah penonton, dan aku melambaikan tangan tinggi. Reno tersenyum dan kembali berkonsentrasi.
“Vel, aku.. Harus pulang terlebih dahulu” kataku sambil berbisik pada Velia. “Vel” kataku lagi. Tapi Velia tak mendengar. Mungkin karena suasana di sini cukup riuh. Aku memutuskan untuk berjalan melewati penonton yang lain dan ke luar dari tempat itu. Darah segar kembali menetes dari hidungku. Aku segera memanggil taksi dan memintanya untuk mengantar pulang.
“Keyla, kau kenapa?”
“Tak apa kak, hanya kelelahan”
Tanpa pikir panjang, kak Ken segera menggendongku dan membawaku ke kamar. Aku meminum beberapa pil obat dan beristirahat. “Raih piala itu untukku”
“Key, ada yang mencarimu” kata kak Ken sambil mengusap rambutku lembut. Aku membuka mata dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.
“Siapa?”
“Keluarlah. Dia menunggumu di bawah sayang”
Aku memijat keningku perlahan dan segera turun. “Dimas?”
“Hai, kau tak apa apa?” dia segera berdiri dan meletakkan kedua tangannya di bahuku.
Aku hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
“Kau tahu, aku sudah berhasil memimpin tim sekolah kita untuk meraih piala kemenangan. Tapi saat aku melihatmu di bangku penonton, kau sudah tidak ada. Dan Velia juga tidak tahu kau ke mana. Aku sangat khawatir dan..”
“Aku tak apa, Dim. Sungguh”
“Tapi wajahmu pucat”
“Mmm.. Selamat ya. Akhirnya kau berhasil membuat tim basket sekolah kita menang. Kau hebat” kataku tulus, yang tiba-tiba saja memeluknya. Entah kenapa, hatiku menyuruh tanpa bisa ku cegah.
“Key, aku ingin berbicara sesuatu”
Aku menepis pelukan itu dan melihat mata itu lekat. “Tentang apa?”
“Aku tidak tahu bagaimana mengatakan semuanya, tapi percayalah Key, aku mencintaimu. Aku tidak ingin kehilangan kau”
Aku tersentak kaget mendengar pengakuan itu. “Kau tidak berbohong?”
Dimas menggeleng. “Aku mencintaimu sejak dulu. Tapi aku tak pernah berani untuk mengatakan semuanya. Aku tahu, aku pria bodoh, aku pria penakut. Aku sudah membuatmu menunggu selama dua tahun ini, aku memang..”
“Kau tahu dari mana kalau aku sudah menunggumu selama dua tahun ini?” sahutku.
“Velia. Dia yang memberitahuku segala hal tentangmu. Tentang kau yang ternyata juga mencintaiku. Dan sejak saat itu, aku mulai memberanikan diri untuk mendekatimu”
“Tapi..” aku bingung harus berkata apa lagi. Aku memang menginginkan semua ini, tapi aku juga tak mau menyakitinya, karena penyakit ini bisa kapan saja menghentikan kehidupanku. “Aku.. Sudah memutuskan untuk berhenti berjuang mendapatkanmu”
“Kenapa? Key, aku sudah mengatakan semua perasaanku. Kita hanya perlu bersatu, kita yang akan berjuang. Bukan lagi kau, bukan juga aku. Kita pasti bahagia”
Aku menggeleng lagi. “Tidak, Dim. Lebih baik kita bersahabat”
Dimas menghembuskan napasnya pelan. “Sungguh tak ingin mencoba untuk berjuang bersama, Key?”
“Masih banyak wanita yang lebih baik dari aku, Dim”
“Aku tak butuh wanita baik kalau di hadapanku sudah ada wanita yang sempurna”
Aku tersenyum samar.
“Apa karena.. Kau memilih Reno?”
“Ah, tidak. Aku tidak memilih siapa pun”
Dimas mengangguk. “Baiklah. Aku.. Akan pergi besok”
“Pergi?” aku menoleh dan menatapnya tajam. “ke mana?”
“Mmm.. Pergi menjauh dari semua. Semua kenangan kita, kedekatan kita, dan.. Menjauh membawa cinta”
Aku menghela napas lagi. Tuhan, aku memang bodoh! Betapa teganya aku menyakiti dua orang yang menyayangiku. Tapi.. Tak ada pilihan lain.
“Kemarin adalah pertandingan terakhirku. Hari terakhirku menjabat sebagai kapten basket. Dan saat ini, adalah waktu terakhir aku bertemu denganmu”
“Dim, apa maksudmu? Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Aku.. Masih mencintaimu, sangat. Tapi.. Aku tak bisa”
“Tak apa. Suatu saat, kita pasti bertemu. Ku mohon, jaga hatimu untukku. Karena aku juga akan menjaga hatiku. Sampai nanti kita bertemu, dan bisa menyatukan cinta ini”
“Aku berjanji”
Dimas mengangguk dan tersenyum. “Baiklah, aku harus pulang. Sampai jumpa lagi. Entah kapan waktu akan menyatukan kita”
“Dimas!” teriakku sambil memeluknya erat.
Tiba-tiba saja, dua mata itu menatapku dari balik pagar rumahku. Dia, dia menatapku lagi dengan lekat. Menatapku dengan ribuan luka. Menatap orang yang dicintainya jatuh pada pelukan pria lain, pada sahabatnya sendiri.
“Aku mencitaimu, Key”
Aku menghela napas dan membiarkan dia pergi. Perlahan, tapi pasti. Begini pahit kah sebuah takdir cinta di hidupku, Tuhan? Aku memasuki kamar dan mengurung diri. Menangis selama berjam-jam. Tak peduli akan kehadiran Reno. Tak peduli pada siapa pun! Rasa ini terlalu sakit. Bahkan lebih sakit dari penyakit yang selama ini ku derita. Sakit saat kehilangan orang yang aku cintai, Dimas. Sejak kejadian itu, Dimas benar-benar menghilang. Di sekolah, aku tidak bertemu dengannya. Dia pindah, itu hal yang aku tahu. Lantas, untuk apa dia pindah? Untuk melupakanku? Atau dia tak benar-benar mencintaiku? Entahlah. Yang pasti, aku merasa sangat kehilangan dia.
Hari demi hari telah berlalu. Minggu demi minggu telah terlewati. Bulan demi bulan telah berganti. Akhirnya, Bunda dan Ayah memutuskan untuk mengeluarkan aku dari sekolah. Bukan karena aku berbuat masalah, melainkan karena dokter menyuruhku untuk menginap di rumah sakit. Ya, penyakitku bertambah parah. Semua pengobatan itu tak berguna. Dan kini, hanya menghitung hari sebelum aku benar-benar pergi dari dunia ini.
“Selamat siang Keyla” sapa dokter Iwan, dokter pribadiku.
“Selamat siang dok”
“Sekarang dokter akan tunjukkan kamar inapmu. Tenang saja, kau tidak sendirian”
“Ah, benarkah dok?”
“Iya sayang. Kau akan mempunyai teman untuk bercerita. Jadi, kau tak akan kesepian”
Aku tersenyum senang. Aku tak akan sendiri, syukurlah.
“Silahkan tidur di sini. Sepertinya, teman di ranjang sebelah sedang istirahat. Tunggu saja sampai dia bangun. Kalian bisa berkenalan”
“Baik dok, terima kasih”
Dokter Iwan tersenyum dan berjalan pergi. Aku menghela napas pelan.
“Dimas, sampai ketemu di hari nanti. Di kebahagiaan kita, di masa depan”
Kini, aku sudah berada di ruang Anggrek lantai tiga. Ruangan yang hanya berisi dua pasien, satu tv, dan satu sofa. Ya, ruangan itu cukup nyaman menurutku. Terlebih lagi, aku tak sendiri di sini. Tiba-tiba, sebuah suara muncul dari ranjang sebelah. Tirai itu juga bergerak pelan.
“Hei, ada orang di sana?”
“Suara itu..” aku menghela napas. “Tidak, tidak mungkin”
“Siapa namamu? Kenalkan, namaku Dimas. Kau bisa memanggilku Dim atau Putra”
Aku terlonjak kaget. “Di.. Mas?” aku segera turun dari ranjang dan membuka tirai itu cepat. Dan.. Benar! Dia ada di sana. Tertidur di ranjang dan berwajah pucat.
“Keyla?” dia juga terlihat kaget. Dia berdiri dengan susah payah dan mulai meneteskan air matanya.
“Dimas, kau.. Sedang apa di sini?”
Dimas tak menjawab dan segera memelukku erat. Sangat erat.
“Dim, jadi ini alasanmu tak memberitahuku ke mana kau pindah? Kau.. Juga sakit?”
“Ini juga alasanmu tak ingin memperjuangkan cinta kita?” Dimas balik bertanya.
“Aku.. Hanya merasa tidak pantas untukmu. Dengan keadaanku yang sekarang, dengan penyakitku, dengan umur yang kapan saja bisa berakhir”
“Lantas, apa bedanya kita? Lihat aku, Key! Aku juga menghabiskan sisa umurku di sini. Menunggu. Entah sampai kapan” kata-kata itu memang lembut, namun berhasil membuatku menangis.
“Dimas, dengar..”
“Kau yang harus mendengarkanku, Key! Kita sama. Sewaktu-waktu kita bisa saja saling kehilangan. Aku kehilangan kau, dan kau kehilangan aku. Aku memang sempat berpikir jika kita tidak akan mungkin bertemu lagi. Tapi ternyata aku salah. Kita memang ditakdirkan untuk bersama”
“Dimas, stop!”
“Keyla, dengarkan aku! Aku berjanji akan memberikanmu kebahagiaan di sisa waktu kita”
“Dimas, aku juga mencintaimu” aku memeluknya lagi. Menangis di pelukannya, itu yang membuatku nyaman. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Tidak untuk saat ini, dan seterusnya.

0 komentar:

Posting Komentar